Langit
berkabut, pukul setengah dua dini hari. Mataku masih saja sulit terpejam,
hembusan angin dingin menusuk jauh ke dalam kulitku. Padahal tubuhku meringkuk
dalam selimut yang cukup tebal. Kain gorden yang terbuka separuh membuat cahaya
bulan dengan lancang masuk menerobos ke dalam kamarku dan membuatnya terang.
Sejenak aku berfikir segelap ini kah ? Dan dalam kegelapan ini aku merasa
nyaman.
Aku
membalikkan tubuhku ke sisi lain, membelakangi jendela. Hatiku tidak merasakan
apa apa, Aku sedang tidak memikirkan apapun. Tapi Aku masih saja terjaga dalam
keheningan yang menyiksa ini. Disela hati yang hambar, sebenarnya Aku merasakan
rasa sesak yang tak terhingga. Ini bukan tentang mata yang tak bisa di ajak
kompromi dengan waktu, atau dingin yang berpadu dengan heningnya malam sehingga
membuat kesepian ini begitu bergelayut dalam anganku. Aku meraba dada yang naik
turun tak ber irama, ada apa denganku?
“Tokk..Tokk..Tokk..”
kudengar kaca jendela di ketuk oleh seseorang. Aku menggeser badanku dan
mencoba melihat bayangan dari tempatku berada.
“Ken?”
suara ku begitu serak dan bergetar ketika menyebutkan nama itu. Tapi, apakah
itu benar dia?
Seraut
wajah memucat 2 meter di depanku semakin jelas terlihat. Aku berjalan kearahnya
dengan langkah terseret. Dia tepat di depan jendela kamarku, dan tersenyum.
Sungguh, apa yang lebih kurindukan daripada ini, tak akan ada. Aku mengambil
langkah setapak demi setapak, sambil meremas gaun tidurku yang terlalu panjang
kurasa. Dia ada disana, kemeja putih dan rambut cepak nan rapi kebanggaan nya.
“Edna..”
Dia memanggilku. Suara yang selalu sama dan kurindu merdunya.
Aku
berada tepat di depan jendela, sekarang tubuh kami hanya berbatas kaca bening
lima mili meter yang separuh terbuka. Aku membuka jendela ini sepenuhnya, dia
meminta tanganku. Mungkin saat ini aku hanya ingin mengikutinya, tak ingin
memprotes apapun yang dia ingin lakukan. Aku melompat dari jendela, seperti beberapa
tahun lalu sering kulakukan saat tak bisa tidur. Menunggui nya di taman
belakang rumahku dan dia akan selalu datang untuk menemuiku. Namun kini
berbeda, dia menjemputku. Dia merindukanku.
Ken
menggandengku ke bangku kecil di taman belakang rumahku. Genggamannya sama
eratnya seperti ketika ia pamit ingin pergi untuk mengejar apa yang ia mimpikan
beberapa tahun silam. Di punggungnya itu bahkan aku masih mengingat begitu
banyak air mata yang ku tumpahkan di situ. Kurasa dia selalu ada untuk bagian
penting dalam masa aku hidup. Mungkin saja dia punya sepasang sayap malaikat di
punggungnya.
“Kau
mau menemaniku? Kumohon sebentar saja” pintanya. Ah bahkan dia selalu ambigu,
dia selalu tau bahkan tanpa dia memintanya Aku sendiri yang akan bersedia untuk
berada disisinya kapanpun dia mau.
Kurasa
Aku tak perlu menjawab, Aku hanya ingin membagi malamku ini dengan dia, duduk
disini, sesederhana itu saja.
“Kau
tau, waktu itu Aku tak ingin pergi meninggalkanmu. Sendirian, Aku takut kau tak
punya lagi bahu atau sekedar seseorang yang kau butuhkan untuk membagi sedihmu
seperti yang biasa kau lakukan padaku. Aku tak masalah bila hanya menjadi bahu
atau baju sekolahku akan selalu basah tiap pulang sekolah karena air matamu dan
kau menangis di pundakku tiap kau ku bonceng dengan sepeda ku. Kau pun akan
selalu tahu..” ucapnya dengan senyuman tipis nan tenang, mengenang masa masa
yang tak mungkin lagi bisa kami bagi berdua.
“Aku,
akan diam. Sedangkan kau bercerita tentang banyak hal keluh kesahmu. Aku tahu
kau hanya butuh seseorang untuk mendengarkanmu, sesederhana itu pula aku akan
bersedia..” kau selalu benar, menebak isi otakku dengan jitu, mengobrak abrik
isi hatiku dengan semua kebenaran ini. Kau benar.
“Atau
kadang kau akan bercerita dengan senyum yang amat ceria tentang Murid lelaki
pemain Basket dan beberapa anggota Pecinta alam yang tinggi dan sangat tampan
ketika mereka menyapamu dan memulai chat
denganmu di malam malam sunyi. Aku bahkan tak ingat, betapa dulu aku ingin
menjadi salah satu dari mereka untuk sekedar bisa membuatmu bahagia dan merasa
spesial. Namun sekali lagi Aku tersadar
karena Aku hanya sahabatmu, sungguh Aku membenci rasa sayang untuk sahabatku
sendiri yang pada akhirnya akan berubah seperti ini.” air mataku mulai meleleh,
dua orang yang duduk bersebelahan kini betapa dulu adalah dua orang anak
manusia yang sangat ingin bersama.
“Edna,
kau bahkan tau bila Aku ini yatim piatu, sendiri, miskin dan terbuang. Namun
kau selalu percaya Aku bisa merubah hidupku lebih dari yang ku kira. Aku
berjuang, berkerja keras agar suatu saat ketika Aku menjadi Pria yang sukses Aku
bisa menjadikanmu Pengantin wanitaku. Ku yakin kau akan setuju dengan ide ku
ini, kau mau?” kumohon hentikan omong kosong ini Ken. Kau memiliki hatiku,
cintaku, ragaku, mungkinkah kau bawa masa depanku bersamamu?
“Bolehkah
Aku menyebutnya, bersamamu adalah masa terindah dalam hidupku Edna? Namaku Ken,
dan kau harus mulai mengingatku mulai sekarang..” dia menoleh kearahku, sebuah
senyum yang sama kulihat saat kita pertama kali bertemu kini ia mengusap pipiku
untuk dua bulir air mata yang tak bisa ku sembunyikan jatuhnya.
“Untuk
apa?” tanyaku, suaraku bergetar, pilu dan tak ingin ku dengar sendiri.
“Untuk
masa lalu. Aku hidup di panti asuhan, seorang anak lelaki yang tak mengerti apa
itu kasih sayang dan menyebut diriku sendiri yatim piatu, semenjak kecil sampai
akhirnya aku bertemu ketulusan bersamamu. Dan kau membuatku mengerti segalanya.
Untuk enam tahun sekolah menengahku aku berjuang menjadi yang terbaik
bersamamu. Sekalipun, tak pernah kita berpisah untuk menjalani semua sendirian.
Kau ada untukku, memberiku perhatian yang tak pernah ku dapatkan bahkan dari
seorang ibu. Aku, berjanji pada diriku sendiri untuk menjagamu sebisaku. Aku
tak merasakan betapa kecewanya ketika tak memiliki keluarga disisiku, asalkan Kau
bersamaku tetap disampingku.” Mendengarkan dia bercerita tentang masa lalu
membuat hatiku perih.
Hening,
satu sama lain dari kami saling mengambil nafas dengan ritme yang berbeda. Kami
membiarkan jeda di pertemuan pagi buta ini, membiarkan kabut menyelimuti satirnya
kisah kami. Aku menoleh ke arahnya, sesaat kemudian dia melihatku. Dia
memelukku, Aku terisak di pelukannya. Demi tuhan, pelukan ini yang ku inginkan.
Hanya pelukan ini yang mampu menenangkanku, hanya pelukan ini yang bisa
membuatku hidup untuk berkali kali masa terberat dalam hidupku.
“Kau
percaya Aku tak akan membiarkanmu sendirian Edna?” dia bertanya padaku di sela
isakanku di pundaknya. Wangi bau tubuhnya selalu sama dan membuatku semakin
terisak.
“Kamu
gak harus pergi buat buktiin ke Aku kalau Kamu bisa menjadi apa yang Aku mau.
Kamu gak harus ngelakuin semua itu Ken!” Aku memeluknya semakin erat dan tanpa
kusadari tangisan ini semakin meraung raung. Perasaan bersalah karena
membiarkannya pergi kala itu benar benar sebuah mimpi buruk.
“Edna!!..Edna
sudah Edna..” Seseorang menepuk pundakku dari belakang.
“Lepas
Kak.. jangan ganggu Aku, Ken ada disini!” Aku melepaskan diri dari Kakak
lelakiku, Lambang.
“Ken
sudah meninggal Edna, Kamu harus sadar itu. Dengan Kamu meluk koran itu erat
erat Ken nggak akan pernah kembali Edna.. Di pagi buta seperti ini sekalipun
Ken nggak pernah akan kembali..” Suara Kakak ku meninggi berusaha menyadarkanku
dengan tangannya yang berhasil merebut koran itu dariku.
Headline
yang sengaja di tulis dengan font
besar besar seakan membutakan mataku. Beberapa orang prajurit meninggal dalam
sebuah perang saudara di sebuah pulau, senjata tajam melukai kepalanya yang
saat itu berusaha mengamankan situasi. Seandainya saja Aku mampu bersamanya
untuk saat terakhir di hidupnya.
“Edna
Kau percaya Aku nanti bisa jadi seseorang yang Kau banggakan? Yang akan menjagamu?”
pertanyaan seorang Anak Lelaki berseragam putih biru berusia belasan tahun yang
hanya memiliki teman yaitu Aku.
Atau..
“Maukah
Kau menikah denganku selepas Aku kembali nanti?” pertanyaan Ken yang hanya ku
tanggapi sebagai lelucon disaat aku menghantarnya pergi dengan baju militer
nya.
Dan
untuk semua itu. Aku masih percaya kau akan kembali, jadikan aku pengantin
wanitamu. Atau izinkan Aku bersama denganmu disebuah tempat bernama, keabadian.
“Waktu terus berlalu, hingga kusadari yang ada hanya Aku
dan kenangan.
Masih teringat jelas senyum terakhir yang kau beri
untukku”
Kediri
06/02/17