Rabu, 12 Oktober 2016

Pamit



Tidak ada yang lebih bisa membuat hatiku damai selain membaui wangi tanah dan sejuknya daun ketika hujan reda. Tiada yang mampu mengalahkan romantisnya gerimis ketika menyapa daun helai demi helai, lalu membuatnya basah dan seakan lupa bagaimana caranya gugur. Dan, dengan semua itu aku selalu berfikir betapa Tuhan sangat baik menuntunku untuk menemukan keajaiban demi keajaiban kecil dibawah rintik hujan. Sama seperti saat itu, Lima tahun lalu. Aku mengenalmu pada saat kelas tiga SMU. Dibawah rintik hujan aku berjalan pelan lalu bukan dengan sebuah pertemuan pertama yang ku harapkan indah, kau menabrakku dengan sepedamu yang kau ayuh kencang.
Hanya gadis bodoh dan kekanak kanakan yang ingin dan dengan sadar berjalan di bawah hujan, selalu itu yang kau katakan. Dan kau selalu benar. Menebak dengan tepat dan sialnya dari semua kata kata mu yang membuatku sakit hati, tak pernah satu diantaranya yang mampu menggoyahkan rasa ku kepadamu. Di sini di bawah rintik hujan yang sama, aku berharap Tuhan menuntunku untuk menemukan sebuah keajaiban. Sekali lagi.
***
5 Tahun lalu..
“Aku Sandria..” kataku memperkenalkan diri.
“Hilda..” Jabatnya. Cuek sekali, rasanya aku perlu berfikir lebih dari seribu kali untuk setuju dengan keputusan Ayah dan Ibu membawaku pindah ke luar kota. Berkali kali aku pindah sekolah, dan ku kira ini yang terakhir karena ini memang tahun terakhirku berada di bangku SMU.
Pada dasarnya aku memang di takdirkan dengan sifat cuek yang terkadang sampai berpengaruh pada ekspresi muka dan membuatku terlihat menyebalkan. Bukan aku yang meminta dilahirkan dengan keajaiban semacam ini. Tunggu, keajaiban? Yah sebut saja begitu memangnya siapa yang akan perduli.
“Kamu murid baru?” Tanya seorang siswi dengan nada sinis menghampiri bangku ku.
“Iya, kenapa?” Aku balik bertanya.
“Mentang mentang murid baru jangan asal duduk dong.  Ini bangku udah ada yang nempatin..” katanya sambil membanting tas ku ke bangku lain.
“Biasa aja dong, lagian ini bangku milik semua yang sekolah disini. Dan aku bayar buat bisa duduk disini..” kataku tak kalah sinis nya.
“Jadi anak baru ini mulai berani!!” katanya sambil menarik kerah kemeja sekolahku. Sial, kenapa cewek bisa sekuat ini sih.
“Lepasin..!” kataku sambil berusaha melepaskan cengkramannya.
“Vida! Lepaskan!!” seorang guru perempuan bertubuh tambun tiba tiba datang dan menghentikan kegaduhan yang kami ( maksudku yang gadis sok kuat ini ) buat .
“Jangan pernah buat kegaduhan lagi! Kamu Vida! Jangan sok kuat di kelas, ini ruang belajar bukan arena Judo. Dan kamu Siswi baru, jangan pernah coba coba membuat keributan di sekolah ini!” kalo dia gak mulai sok kuasa aku juga gak bakal nyolot. Dan percayalah setelah hari pertama di sekolah baru yang sangat menjengkelkan, sepanjang hari ini adalah hari yang sangat sangat buruk.
Semua yang ada di SMU ini rasanya tidak ada yang ingin berteman denganku. Aku sama sekali tidak memiliki teman untuk sekedar bercerita kalau tadi ada yang hampir mencekik ku dengan satu tangan. Sejak aku dan keluargaku hidup berpindah pindah, aku memang tidak pernah benar benar memiliki sahabat dekat. Sulit rasanya mempercayai seseorang ketika belum benar benar mengenal siapa dia sebenarnya. Hanya ada beberapa akun di sosial media yang ku jadaikan tempat ku bercerita. Dan akhir akhir ini aku tersadar, mereka adalah maya. Bisa saja mereka tidak menolongku ketika aku benar benar hampir mati, karena mereka adalah maya.
Kelas berahir tepat pukul 3 sore. Teman sekelasku berhamburan keluar sementara aku bermalas malasan menyeret kaki ku meninggalkan ruang kelas. Rasanya hidupku membosankan, disekolah yang sangat menyebalkan juga di rumah dengan kedua orang tua yang selalu sibuk dengan setumpuk kertas dengan tinta tinta hitam juga handphone yang tak pernah berada jauh dari telinga mereka. Kapan mereka ada waktu untukku? Benar benar tidak ada yang ingin perduli denganku.
Tak terasa tetes demi tetes kecil gerimis berjatuhan dari langit, dan langit pun perlahan semakin menampakkan gumpalan awan hitam yang tidak terlalu pekat. Ahh aku selalu menyukai bau tanah yang disiram gerimis. Sebenarnya, dari semua hal yang ku benci di kota ini ada hal yang selalu membuatku jatuh cinta, hujan. Hanya hujan dan suasana romantis yang ia tebarkan setelahnya. Aku tak perlu naik kendaraan agar sampai ke rumah, aku mencintai setiap pohon rindang yang memayungi di sepanjang perjalanan antara rumah dan sekolah.
“Minggiiiiirrrrrrr........!”  Teriak seseorang dengan kencang di belakangku. Aku yang refleks mengikuti perintahnya tidak sempat lagi berfikir dan langsung menggir sehingga membuatku terjatuh. dan sialnya, genangan air hujan yang berada tepat di sampingku menyiramkan air kotornya ke seragam putihku. Ku lihat siswa laki laki itu menjatuhkan tubuhnya di pinggir jalan, aku baru sadar kalau rem sepedanya blong. Aku yang semula kesal karena perbuatannya mengurungkan niatku melabrak ia yang seenaknya mengotori seragamku.
“Kamu baik baik aja?” tanyaku sambil membantunya berdiri. Kulihat siku nya berdarah tergores batu batu kecil yang berserakan di sekitar tempatnya terjatuh. Dia memandangku seakan aku adalah spesies serangga baru saja ia identifikasi, aneh. Dan dia memang benar benar aneh, tidak mengucapkan sepatah kata pun dan dengan tidak bersalahnya langsung mengayuh sepedanya kembali. Apa tidak ada lagi yang lebih waras di kota ini?
***
Aku mengeringkan rambutku dan baru saja selesai mandi ketika aku melihatnya mendorong sepeda melewati depan rumahku. Jadi dia tetanggaku? Maksudku cowok yang kemarin mengotori seragamku. Aku segera bersiap berangkat sekolah dan berlari mengejarnya. Aku bisa melihat punggungnya meskipun dari jarak yang lumayan jauh.
“Hai..” nafasku tersengal karena berlari mengejarnya.
“Hai..” jawabnya cuek.
“Kamu satu sekolah sama aku deh kayaknya, luka jatuh kemarin udah baikan?” tanyaku. Ekspresinya datar, tidak ramah, tidak juga acuh, dan tidak termasuk kategori sombong. Dia sulit di tebak, tapi harus ku akui dia tampan.
“Lumanyan..” katanya sambil menunjukan siku nya yang terbalut perban.
“Namaku sandria..” aku memperkenalkan diri sambil terus berjalan mengikuti langkahnya.
“Lambang..”
“Maksudnya?”
“Namaku Herlambang, orang orang manggilnya lambang..” katanya sambil sedikit menarik sebuah senyuman kecil di dua sudut bibirnya. Aku suka senyuman itu, senyum ramah yang akhirnya ku temukan di kota baru ku.
“Kamu tau kan kita tetanggaan?” tanyaku membuka percakapan.
“Oh ya?”
“iya, dua rumah di depan rumahku..” jawabku.
“Aku juga tau kamu siswi baru 3 IPA 5..” katanya. Dia benar benar misterius.
Perjalanan yang ditempuh antara rumah ke sekolah membutuhkan waktu 15 menit berjalan kaki. Dan sepanjang waktu itu, aku menghabiskannya bersama lambang. Ternyata dia nggak se cuek itu, dia nyambung diajak ngobrol meskipun yah sedikit kaku. Dia menyukai berjalan kaki di pagi hari dan berangkat ke sekolah lebih awal karena suasana sejuk di sekitar sekolah hanya bisa di nikmati saat sendiri. Dia benar benar menyukai kesendirian. Gerbang sekolah sudah terlihat, dan itu menyudahi obrolan kami.
“Boleh kita ngobrol lagi?” tanyanya, seperti aku akan segera hilang dengan dua sayap imajiner yang hanya dia saja melihatnya.
“Kapanpun kamu mau. Kecuali jam 12 malem di atas pohon beringin ya..” kataku menggodanya. Dia tertawa kecil, memarkir sepedanya dan melambai kepadaku sebelum masuk ke kelasnya.
Seperti biasa, kelas 3 SMU merupakan kelas terakhir dari semua kejenuhan yang berpusat dari setumpuk latihan soal menjelang ujian nasional. Persamaan lingkaran dan garis singgung, suku banyak, algoritma sisa dan sekumpulan bab dari matematika yang membuat mata ku berkunang kunang. Aku menahan nafas lalu mengeluarkannya pelan pelan, sama seperti ibu ibu yang akan melahirkan. Rasanya akan selalu sama setiap aku melakukannya walau ber ulang ulang, tenang. Aku duduk di bangku pinggir lapangan basket yang sepi. Aku masih belum faham kenapa orang orang disini cuek sekali. Masih seperti kemarin tentunya, tanpa teman.
Aku menyandarkan punggungku ke bangku dan mulai membuka komik chapter terbaru yang baru kuterima kemarin malam. Rasanya sangat menyenangkan untuk menyingkirkan rumus rumus menyebalkan di buku latihanku itu.
“Hei..” Keluhku saat komik yang ku baca di rebut seseorang. Lambang, dia tersenyum. Oh tuhan jangan menatapku dengan senyuman itu.
“Jangan baca komik di sekolah ini, nanti kamu kena kutukan..” kata Lambang
“Lambang, harga beras hampir naik 500 rupiah tiap bulan dan kamu masih percaya kutukan..” aku mengrenyit dan menatapnya aneh.
“kamu lihat cowok yang baru masuk? Namanya Adrian, dia jago banget main basket..” Lambang mengarahkanku untuk melihat cowok tinggi dan gak kalah cakepnya dibanding dia. Cowok itu berjalan memasuki lapangan dengan bola basket di tangan kanan nya.
“Terus?” tanyaku masih belum faham kenapa lambang membicarakan adrian.
“kamu hati hati sama bola itu. Kutukan komik.”  Lambang tersenyum simpul lalu beralih menatap buku latihan soalnya. Belum ada 5 menit setelah Lambang mengingatkanku, bola yang dimainkan adrian nyaris menghantam mukaku kalau saja tangan Lambang tidak menghadangnya. Tepat satu centi di depan hidungku. Aku menatap Lambang dengan pandangan aneh , campuran antara kagum, berterima kasih dan masih belum percaya kalau apa yang di katakannya tadi bena benar terjadi.
“Ikut aku, disini banyak kutukan yang gak baik buat kamu..” kata Lambang, lagi lagi dengan kata kutukan. Aku membereskan barang barangku dan mengikutinya dari belakang.
Dia mengeluarkan sepedanya, dan menyuruhku naik. Tidak bisa disebut dia memboncengku, karena aku berdiri dan menopangkan kaki ku di pijakan ban belakang. Sepeda lambang tidak ada boncengan, terpaksa aku harus berdiri dan menjaga keseimbangan tubuhku dengan memegang bahu lambang.
“Jujur ini baru pertama kalinya aku kayak gini, apa aku berat?” tanyaku kepada lambang sambil tertawa kecil, menikmati kekonyolan kami. Kami bukan anak kecil dan badanku tidak semungil dulu untuk di bonceng seperti ini.
“Lumayan..” jawabnya juga sambil tertawa kecil. Aku memukul pelan bahunya yang bidang.
Kami melewati pohon pohon rindang di tepi jalan, lapangan rumput dengan banyak domba putih berkejaran. Rasanya seperti berada dalam sebuah dongeng, aku hampir tak percaya di zaman modern dengan globalisasi yang menyentuh semua bidang, ternyata masih ada daerah se asri ini. Lambang mengayuh sepedanya dengan kencang saat melewati jalan menanjak, aku memegang pundaknya erat nyaris memeluknya. Tak terasa 15 menit aku berdiri di belakangnya, sama sekali tidak capek padahal biasanya aku paling suka mengeluh. Dia menyuruhku turun di jalan setapak dengan rumput hijau penuh bunga kesukaanku, dandelion.
“Kita harus jalan buat sampai di tempat yang aku maksud, gak pa-pa kan?”  tanyanya, aku terdiam. “Gak akan lama, trust me.” Katanya seakan bisa membaca fikiranku. Aku mengangguk pelan, sebenarnya aku bisa berjalan lebih jauh lagi tapi aku haus.
Aku dan lambang melewati jalan setapak yang hampir menyerupai bukit karena yang kami lewati semakin menanjak. Rumput rumput bergerak mengikuti arah angin, tak terkecuali dengan rambutku yang tergerai. Bunga bunga dandelion menebarkan awan awan kecil putih nan bersih, indah sekali.
“Kita sudah sampai..” kata lambang mengakhiri kekagumanku pada tempat ini.
“Danau?” tanyaku setengah tak percaya.
“iya danau..” tegas lambang.
“kok bisa.. ah.. eh maksudku ini kayak mimpi.. wah..” kataku kagum. Lambang hanya tersenyum. Aku berlari menuju tepian danau, seakan merayakan kebebasanku.
“Sandria jangan sentuh airnya, nanti kamu kena kutukan...” teriak Lambang dari jauh. Aku mengabaikan peringatannya walau dalam hati aku sedikit mempercayai itu. Dan astaga, airnya sejuk sekali. Tiba tiba gerimis kecil jatuh satu per satu, aku pun mundur perlahan. Aku menoleh ke arah lambang, sore ini cuaca cerah dan tiba tiba mendung lalu gerimis.
“Kutukan kedua..” kata lambang, lalu aku berlari ke arahnya yang berteduh di bawah pohon rindang. Hanya gerimis tidak hujan, tapi rasanya berbeda sekali.
“Aku kayak dapet keajaiban...” kataku sambil menengadahkan tanganku menangkap tetes demi tetes butiran air yang terjatuh dari langit.
“Kenapa kamu suka gerimis?  Setauku hanya gadis bodoh dan kekanak kanakan yang ingin dan dengan sadar berjalan di bawah hujan..” lambang berkata sambil tersenyum.
“Eh.. kenapa kamu bisa ngomong gitu?”  aku bertanya heran,  namun lambang hanya memberi jawaban lewat tatap matanya.
“Kamu pasti bakal nemuin satu momen dimana kamu bisa tenang untuk beberapa saat berada disitu, mencintai momen itu dan selalu berharap mengulang hal yang sama..” aku seakan bermonolog tentang sesuatu paling indah di dunia.
“mungkin aku udah nemuin momen itu..”
“Kok mungkin?” tanyaku, lagi lagi aku bermonolog karena sepertinya Lambang tak menghiraukan pertanyaanku dan berjalan ke arah lain, termenung disana untuk beberapa saat. Aku membenarkan posisi duduk ku dan baru sadar kalau aku menjatuhkan selembar kertas dari tas lambang yang ku senggol. Sebuah puisi.
“Lambang..” panggilku.
“Ya?” jawabnya sambil menoleh kearahku.
“Apa dengan kita bertemu, itu adalah sebuah kutukan?”

***
Ini adalah minggu minggu terakhirku berada di sekolah ini, sepertinya tidak ada yang bisa di ceritakan dari pengalamanku menghadapi teman teman sekelasku yang harus ku eja kembali per huruf saat aku ingin memanggil mereka teman. Karena bagiku teman yang benar benar ku anggp teman hanyalah Lambang. Kami berjuang bersama, belajar pagi-siang-malam selama beberapa bulan demi beberapa hari dalam satu minggu pada bulan april tahun ini. Dan minggu ini akan ada pengumuman kelulusan. Semua ini terasa seperti berproses melewati sebuah gerbang baru yang ajaib. Tapi bagiku hidup adalah melewati gerbang demi gerbang untuk menemukan sesuatu yang baru. Sebuah proses yang panjang untuk melewati hidup.
Sekarang aku terbiasa ke danau tempat aku dan lambang pertama kali menikmati gerimis dulu. Tidak ada mall, tidak ada cafe dan tempat hiburan modern di sekitar sini, kukira aku memang tidak memerlukannya. Aku mencintai danau dan hamparan rumput serta bunga bunga dandelion. Aku mencintai gerimis yang datang tiba tiba dan mengundang hujan untuk membasahiku sejenak. Lambang akan berada di sampingku saat aku tertawa atau bahkan saat aku menangisi semua kekesalanku, dia selalu ada untuk itu. Seperti sore ini.
“setelah hari kelulusan kamu akan pergi jauh..” kata lambang kepadaku. Dia selalu seperti ini, berbicara hanya dengan kalimat yang ia saja mampu memahaminya.
“Aku bahkan nggak tau setelah ini takdir membawaku kemana..” kataku.
“Dengan kita bertemu itu adalah kutukan...”
“Apa maksud kamu?” tanyaku seakan tak ingin mendengar apa yang baru saja lambang katakan.
“Aku nggak maksud..”
“Lalu setelah ini kutukan apa yang bakal aku dapetin?” tanyaku memotong perkataan lambang. Rasanya aku sedikit sensitif sore ini, Ayah merencanakan akan membawa aku dan ibu pindah ke kota lain. Aku berharap rencana ayah gagal dan sengaja tak menceritakannya pada lambang. Tapi dia tau, dia selalu tau tanpa harus aku bicara.
Aku tak bisa mendefinisikan bagaimana hubungan yang kami jalani sekarang, hampir satu tahun kami bersama. Hanya teman, tidak pernah kami ber ikrar lebih dari sekedar itu. Bukan sahabat, tapi lebih dari seorang teman. Bukan sepasang kekasih tapi kedekatan kami hampir memudarkan batas sebuah pertemanan biasa. Entahlah, aku pun sangat menyayanginya dalam waktu yang singkat ini. Kami bisa saling mengetahui isi hati masing masing hanya dengan tatapan mata. Tentu akan sangat berat meninggalkan orang yang begitu mengerti kita.
“Kamu bakal pergi..” kata Lambang pelan.
Tanpa jawaban aku memandangnya wajahnya, menusuk tepat di dua belah matanya. Perlahan mataku melelehkan air bening yang sangat ku benci datangnya. Aku memalingkan wajahku ketika tangan Lambang ingin mengusap air mataku yang telah terjatuh. Riak air danau yang tenang tidak lagi membuatku nyaman, dadaku sesak.
Tanpa kata aku meninggalkan Lambang di tepian danau, ku kayuh sepedaku cepat cepat secepat isakkanku yang mulai terasa menyakitkan. Sekali lagi ingin ku teriakkan di dalam otakku agar mendengung di ingatan : bahwa yang tak pernah dimulai tidak akan pernah menjadi sebuah kenangan. Selalu aku mencoba berusaha meyakinkan diriku sendiri kalau aku akan baik baik saja tanpa lambang. Akan baik baik saja, tetap baik baik saja.
***
Tapi pada kenyataannya,hati selalu menjadi bagian yang tak pernah bisa di bohongi. Ribuan hari tyan ku lewati tanpanya, entah tak terhitung lagi banyaknya rinduku untuk seseorang yang pertama kali mengenalkanku dengan apa yang namanya keajaiban. Ah entah apa namanya, kutukan aneh yang mungkin ku sebut keajaiban. Aku sendiri tak pernah berharap lebih,menemukan lagi sesosok lelaki seperti dia.
Dan bagaimanapun semuanya tidak bisa dilupakan, karena itu adalah sejarahku bukan sampah. Seandainya aku adalah penulis takdir hidupku sendiri, aku ingin membuat akhir yang indah untuk cerita ini ceritaku dengannya, lambang. Mungkin aku tak akan membiarkan lambang duduk memandangiku pergi dengan pipi basah setelah menangis. Mungkin aku bisa menahan emosiku yang sungguh meledak ledak. Dan, dari semuanya itu aku hanya ingin lambang memanggilku dan menghalangiku untuk pergi, itu saja. Bukankah selalu menyakitkan menjadi pihak yang ditinggalkan? Kenapa ia mau menjadi sosok itu.
Sekarang, setelah 4 tahun semuanya berlalu. Di gerbang SMU kami tempat pertama kali ia meminta pertemanannya denganku, semuanya masih sama. Hanya saja suasananya akan berbeda dengan tanpa dia disini, entah sejak kapan aku jadi melankolis seperti ini. Langit sedang mendung sekarang, pohon pohon yang rindang menambah kelabu suasana sore ini. Mungkin akan terlihat konyol seorang wanita muda di minggu sore mengenakan jubah hitam lengkap dengan toga nya berjalan sendiri di halaman SMU yang sepi.
Tapi ini aku, inilah aku. Lihat aku, aku bisa dan sangat berhasil menempuh masa kuliahku. Sarjana Teknik. Dengan 3.5 tahun kuhabiskan di perguruan tinggi negeri yang dulu sama sama kita impikan namun kau menghempaskan mimpimu dan membiarkanku terkatung katung sendirian menghadapi dunia mudaku. Kita bertemu bukanlah sebuah kutukan untukku, dan bukan sebuah musibah bagimu. Namun kau sendiri yang mengutukku, menciptakan jurang yang dalam untuk kita dan sengaja kau terjun di dalamnya.
Lambang, sekarang aku berada di gerbang SMU kita.Beberapa hari lalu aku mengunjungi tempat yang lebih sunyi dari danau mu yang kau bagi denganku dulu. Disana banyak manusia terlelap sangat lama dan menyerahkan semua ingin dan harapannya pada sebuah papan. Aku tak mengerti dengan semua perasaan yang mulai berkecamuk dalam dadaku. Sesak yang sejak aku meninggalkanmu tak ingin kurasakan lagi kini terulang padaku. Sejak itu aku merasa lebih baik meinggalkanmu saja. Biarkan aku bertemu dengan mu lagi di danau tempat kau berbagi puisi puisimu. Kau tau?  Terkadang aku berharap mendengar kutukanmu lagi, itu caramu menghindarkanku dari hal hal yang akan menyakitiku dengan menciptakan keajaiban kecil di dalamnya. Selalu di bawah rintik gerimis. Aku pamit ya, dibawah rintik gerimis yang sama kelak kita akan bertemu lagi.

 

Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?”
tanyamu.
Kita abadi.





Bangkalan Oktober 2016