Selasa, 28 Februari 2017

Watashi wa anata ga inakute sabishī yoru ni (Disebuah malam ketika aku merindukanmu)


Langit berkabut, pukul setengah dua dini hari. Mataku masih saja sulit terpejam, hembusan angin dingin menusuk jauh ke dalam kulitku. Padahal tubuhku meringkuk dalam selimut yang cukup tebal. Kain gorden yang terbuka separuh membuat cahaya bulan dengan lancang masuk menerobos ke dalam kamarku dan membuatnya terang. Sejenak aku berfikir segelap ini kah ? Dan dalam kegelapan ini aku merasa nyaman.
Aku membalikkan tubuhku ke sisi lain, membelakangi jendela. Hatiku tidak merasakan apa apa, Aku sedang tidak memikirkan apapun. Tapi Aku masih saja terjaga dalam keheningan yang menyiksa ini. Disela hati yang hambar, sebenarnya Aku merasakan rasa sesak yang tak terhingga. Ini bukan tentang mata yang tak bisa di ajak kompromi dengan waktu, atau dingin yang berpadu dengan heningnya malam sehingga membuat kesepian ini begitu bergelayut dalam anganku. Aku meraba dada yang naik turun tak ber irama, ada apa denganku?
“Tokk..Tokk..Tokk..” kudengar kaca jendela di ketuk oleh seseorang. Aku menggeser badanku dan mencoba melihat bayangan dari tempatku berada.
“Ken?” suara ku begitu serak dan bergetar ketika menyebutkan nama itu. Tapi, apakah itu benar dia?
Seraut wajah memucat 2 meter di depanku semakin jelas terlihat. Aku berjalan kearahnya dengan langkah terseret. Dia tepat di depan jendela kamarku, dan tersenyum. Sungguh, apa yang lebih kurindukan daripada ini, tak akan ada. Aku mengambil langkah setapak demi setapak, sambil meremas gaun tidurku yang terlalu panjang kurasa. Dia ada disana, kemeja putih dan rambut cepak nan rapi kebanggaan nya.
“Edna..” Dia memanggilku. Suara yang selalu sama dan kurindu merdunya.
Aku berada tepat di depan jendela, sekarang tubuh kami hanya berbatas kaca bening lima mili meter yang separuh terbuka. Aku membuka jendela ini sepenuhnya, dia meminta tanganku. Mungkin saat ini aku hanya ingin mengikutinya, tak ingin memprotes apapun yang dia ingin lakukan. Aku melompat dari jendela, seperti beberapa tahun lalu sering kulakukan saat tak bisa tidur. Menunggui nya di taman belakang rumahku dan dia akan selalu datang untuk menemuiku. Namun kini berbeda, dia menjemputku. Dia merindukanku.
Ken menggandengku ke bangku kecil di taman belakang rumahku. Genggamannya sama eratnya seperti ketika ia pamit ingin pergi untuk mengejar apa yang ia mimpikan beberapa tahun silam. Di punggungnya itu bahkan aku masih mengingat begitu banyak air mata yang ku tumpahkan di situ. Kurasa dia selalu ada untuk bagian penting dalam masa aku hidup. Mungkin saja dia punya sepasang sayap malaikat di punggungnya.
“Kau mau menemaniku? Kumohon sebentar saja” pintanya. Ah bahkan dia selalu ambigu, dia selalu tau bahkan tanpa dia memintanya Aku sendiri yang akan bersedia untuk berada disisinya kapanpun dia mau.
Kurasa Aku tak perlu menjawab, Aku hanya ingin membagi malamku ini dengan dia, duduk disini, sesederhana itu saja.
“Kau tau, waktu itu Aku tak ingin pergi meninggalkanmu. Sendirian, Aku takut kau tak punya lagi bahu atau sekedar seseorang yang kau butuhkan untuk membagi sedihmu seperti yang biasa kau lakukan padaku. Aku tak masalah bila hanya menjadi bahu atau baju sekolahku akan selalu basah tiap pulang sekolah karena air matamu dan kau menangis di pundakku tiap kau ku bonceng dengan sepeda ku. Kau pun akan selalu tahu..” ucapnya dengan senyuman tipis nan tenang, mengenang masa masa yang tak mungkin lagi bisa kami bagi berdua.
“Aku, akan diam. Sedangkan kau bercerita tentang banyak hal keluh kesahmu. Aku tahu kau hanya butuh seseorang untuk mendengarkanmu, sesederhana itu pula aku akan bersedia..” kau selalu benar, menebak isi otakku dengan jitu, mengobrak abrik isi hatiku dengan semua kebenaran ini. Kau benar.
“Atau kadang kau akan bercerita dengan senyum yang amat ceria tentang Murid lelaki pemain Basket dan beberapa anggota Pecinta alam yang tinggi dan sangat tampan ketika mereka menyapamu dan memulai chat denganmu di malam malam sunyi. Aku bahkan tak ingat, betapa dulu aku ingin menjadi salah satu dari mereka untuk sekedar bisa membuatmu bahagia dan merasa spesial. Namun sekali  lagi Aku tersadar karena Aku hanya sahabatmu, sungguh Aku membenci rasa sayang untuk sahabatku sendiri yang pada akhirnya akan berubah seperti ini.” air mataku mulai meleleh, dua orang yang duduk bersebelahan kini betapa dulu adalah dua orang anak manusia yang sangat ingin bersama.
“Edna, kau bahkan tau bila Aku ini yatim piatu, sendiri, miskin dan terbuang. Namun kau selalu percaya Aku bisa merubah hidupku lebih dari yang ku kira. Aku berjuang, berkerja keras agar suatu saat ketika Aku menjadi Pria yang sukses Aku bisa menjadikanmu Pengantin wanitaku. Ku yakin kau akan setuju dengan ide ku ini, kau mau?” kumohon hentikan omong kosong ini Ken. Kau memiliki hatiku, cintaku, ragaku, mungkinkah kau bawa masa depanku bersamamu?
“Bolehkah Aku menyebutnya, bersamamu adalah masa terindah dalam hidupku Edna? Namaku Ken, dan kau harus mulai mengingatku mulai sekarang..” dia menoleh kearahku, sebuah senyum yang sama kulihat saat kita pertama kali bertemu kini ia mengusap pipiku untuk dua bulir air mata yang tak bisa ku sembunyikan jatuhnya.
“Untuk apa?” tanyaku, suaraku bergetar, pilu dan tak ingin ku dengar sendiri.
“Untuk masa lalu. Aku hidup di panti asuhan, seorang anak lelaki yang tak mengerti apa itu kasih sayang dan menyebut diriku sendiri yatim piatu, semenjak kecil sampai akhirnya aku bertemu ketulusan bersamamu. Dan kau membuatku mengerti segalanya. Untuk enam tahun sekolah menengahku aku berjuang menjadi yang terbaik bersamamu. Sekalipun, tak pernah kita berpisah untuk menjalani semua sendirian. Kau ada untukku, memberiku perhatian yang tak pernah ku dapatkan bahkan dari seorang ibu. Aku, berjanji pada diriku sendiri untuk menjagamu sebisaku. Aku tak merasakan betapa kecewanya ketika tak memiliki keluarga disisiku, asalkan Kau bersamaku tetap disampingku.” Mendengarkan dia bercerita tentang masa lalu membuat hatiku perih.
Hening, satu sama lain dari kami saling mengambil nafas dengan ritme yang berbeda. Kami membiarkan jeda di pertemuan pagi buta ini, membiarkan kabut menyelimuti satirnya kisah kami. Aku menoleh ke arahnya, sesaat kemudian dia melihatku. Dia memelukku, Aku terisak di pelukannya. Demi tuhan, pelukan ini yang ku inginkan. Hanya pelukan ini yang mampu menenangkanku, hanya pelukan ini yang bisa membuatku hidup untuk berkali kali masa terberat dalam hidupku.
“Kau percaya Aku tak akan membiarkanmu sendirian Edna?” dia bertanya padaku di sela isakanku di pundaknya. Wangi bau tubuhnya selalu sama dan membuatku semakin terisak.
“Kamu gak harus pergi buat buktiin ke Aku kalau Kamu bisa menjadi apa yang Aku mau. Kamu gak harus ngelakuin semua itu Ken!” Aku memeluknya semakin erat dan tanpa kusadari tangisan ini semakin meraung raung. Perasaan bersalah karena membiarkannya pergi kala itu benar benar sebuah mimpi buruk.
“Edna!!..Edna sudah Edna..” Seseorang menepuk pundakku dari belakang.
“Lepas Kak.. jangan ganggu Aku, Ken ada disini!” Aku melepaskan diri dari Kakak lelakiku, Lambang.
“Ken sudah meninggal Edna, Kamu harus sadar itu. Dengan Kamu meluk koran itu erat erat Ken nggak akan pernah kembali Edna.. Di pagi buta seperti ini sekalipun Ken nggak pernah akan kembali..” Suara Kakak ku meninggi berusaha menyadarkanku dengan tangannya yang berhasil merebut koran itu dariku.
Headline yang sengaja di tulis dengan font besar besar seakan membutakan mataku. Beberapa orang prajurit meninggal dalam sebuah perang saudara di sebuah pulau, senjata tajam melukai kepalanya yang saat itu berusaha mengamankan situasi. Seandainya saja Aku mampu bersamanya untuk saat terakhir di hidupnya.
“Edna Kau percaya Aku nanti bisa jadi seseorang yang Kau banggakan? Yang akan menjagamu?” pertanyaan seorang Anak Lelaki berseragam putih biru berusia belasan tahun yang hanya memiliki teman yaitu Aku.
Atau..
“Maukah Kau menikah denganku selepas Aku kembali nanti?” pertanyaan Ken yang hanya ku tanggapi sebagai lelucon disaat aku menghantarnya pergi dengan baju militer nya.
Dan untuk semua itu. Aku masih percaya kau akan kembali, jadikan aku pengantin wanitamu. Atau izinkan Aku bersama denganmu disebuah tempat bernama, keabadian.

“Waktu terus berlalu, hingga kusadari yang ada hanya Aku dan kenangan.
Masih teringat jelas senyum terakhir yang kau beri untukku”








Kediri

06/02/17