Bu,
Ibu, ah Ibu.
Mengapa saat mengingat Ibu Aku selalu merasa
beliau adalah pemilik pundak paling nyaman di dunia ini, pemilik hati paling
tabah yang pernah ku temui, pemilik air mata paling suci yang bila beliau
menangis Aku pun turut merasakan apa yang beliau rasakan. Tiada seorang-pun
manusia di bumi ini yang paling mengerti Aku selain Ibu Ku, ya sosok perempuan
paling hebat yang pernah ku temui.
Endah,
Mereka biasa memanggilku dengan nama itu. Nama yang diberikan oleh Ayah
dan Ibu semenjak hari kelahiranku delapan belas tahun lalu. Aku anak tunggal,
selalu di besarkan sendiri. Entah mengapa tuhan belum menakdirkan Ku mendapat
seorang Adik. Terbiasa di besarkan sendiri, teman temanku dan mereka diluar
sana selalu berpendapat ‘Kamu enak ya, di
besarkan tanpa Kakak ataupun Adik. Pasti Kamu sangat dimanja oleh Ayah kamu,
apalagi Ibu kamu Ndah’.
Namun sebenarnya tidak sepenuhnya seperti
itu, keluarga kecil kami bukan termasuk golongan orang yang kaya. Ayah hanya
seorang tukang kebun di suatu instansi pemerintah, dan Ibu hanya seorang
pengasuh bayi. Bukan hal mudah atau gampang mendapakan apa yang aku mau dari ke
dua orang tuaku, karena untuk makan saja uang itu harus di hemat. Apalagi bila
ada keperluan, tentu Ibu lah orang pertama yang paling pusing memutar otak
untuk mengatur keuangan.
Beruntung, kedua orang tuaku sanggup
menyekolahkanku hingga kini aku tamat SMU dan melanjutkan bersekolah di sebuah
Universitas yang ku idamkan, di Fakultas Teknik tepatnya. Namun, Aku bukanlah
Mahasiswi penerima bidikmisi karena suatu kesalahan dari SMU Ku dulu. Sehingga
biaya UKT (Uang Kuliah Tunggal) harus di bayar dengan uang sendiri. Sebesar 2
juta per satu semester masa per kuliahan, dan itu bukan uang yang sedikit
apalagi mudah kami dapat, sedangkan untuk makan sehari hari saja masih susah.
Kini,
Aku pun tinggal di Asrama yang jaraknya ratusan kilo meter dari Ayah dan Ibuku.
Bagi seorang Anak tentu bukan hal yang mudah bila harus berpisah dengan kedua
orang tuanya. Apalagi Aku merupakan anak tunggal. Apa apa harus dengan ibu, dan
kalau boleh jujur Aku memang tidaak pernah bisa jauh dari Ibu. Jika sendiri aku
pun juga merasa sedih, jika biasanya ada Ibu yang selalu bertanya tentang apa
yang sedang ku lakukan, mendengar keluh kesahku, memberi pelukan hangat padaku.
Ah, rasanya aku sangat merindukan kebiasaan kebiasaan itu kini. Ya, Aku memang berkuliah di luar kota. Tentu
biaya makan, dan pengeluaran sehari hari harus sangat di tekan agar tidak
terlalu menghabiskan uang kiriman orang tuaku.
Tapi, sekarang aku sangat butuh uang untuk
membeli buku untuk materi perkuliahan selama beberapa pertemuan kedepan. Buku
ini sangat penting, dan setiap Mahasiswa harus mempunyainya. Dosenku satu ini
bukan dosen yang dengan mudah bisa menerima bujukan mahasiswa, beliau sangat
keras kepala. Sehingga apapun yang berkaitan dengan kata ‘Harus’ berarti wajib
di laksanakan dan sialnya harga buku itu sama dengan jatah makan ku selama satu
minggu setengah. Sialnya lagi uang yang ku miliki hanya cukup untuk makan 5
hari saja, dan untuk naik bis agar sampai di toko buku. Tuhann..
Aku duduk di bangku bis dekat jendela,
memandangi jalan jalan yang padat dengan pengendara kendaraan. Tubuhku berada
di bis ini, namun fikiranku kemana mana. Memikirkan keuanganku, memikirkan ibu.
Yang 2 hari lalu menelfonku dari telepon Bude sinah, saudara Ibu yang tinggal
di samping rumahku. Ibu bilang, lengan kanannya kambuh lagi. Ya, ibu sempat
mengalami kecelakaan 2 tahun lalu. Dan luka yang belum bisa sembuh sampai
sekarang adalah lengan kanannya yang masih terasa sakit apabila musim hujan
datang seperti ini.
“Boleh duduk disini?” tanya seorang gadis
sebayaku.
“Tentu, silahkan..” jawabku ramah sambil
sedikit menggeser badan. Tak berselang lama,
bis melaju menyusuri jalan jalan menuju kota. Butuh waktu 30 menit agar
bisa sampai di kota. Belum lagi berjalan menuju toko buku langgananku di pinggiran
sana.
“Apa Kamu Seorang Mahasiswi?” Tanya gadis di
sebelahku dengan ramah, aku menoleh ke arahnya. Penampilannya biasa saja, dia
sepertinya membawa sekotak penuh kue kering . Aku dapat melihatnya karena wadah
itu transparan. Susah bagiku untuk menebak apakah dia ini masih SMU, atau lulusan
tahun ini yang berarti satu angkatan
denganku namun tidak dapat melanjutkan ke jenjang perkuliahan.
“Iya, darimana Kamu tau?” Aku bertanya balik.
“Tentu saja, dulu Aku pernah merasakan
menjadi Mahasiswi seperti Kamu. Ah iya, namaku Rima.” Dia mengulurkan tangannya.
“Endah. .”
“Kamu mau kemana?”
“Ke toko buku di kota. Kamu?” aku balik
bertanya.
“Pulang.” Jawab Rima singkat, seperti ada beban dalam
kata katanya. Aku penasaran, mengapa kue kue sebanyak itu dibawa pulang kembali
atau memang kue itu pemberian orang?
“Kamu berjualan kue Rima?” tanyaku dengan
pelan, takut menyinggung perasaannya.
“Iya, tapi kali ini semua warung menolak
untuk menjajakan kue kue ku ini. Biasanya aku menitipkannya di warung warung,
tapi entah mengapa kali ini mereka menolak semua kue kue ku..” ujar Rima lirih.
Aku menepuk bahunya pelan, Dia berjualan kue. Terlihat jelas dia lebih lebih
membutuhkan uang daripada Aku.
“Dulu Aku seorang Mahasiswi di sebuah
Perguruan Tinggi Swasta yang cukup bagus di kota ini. Namun, Ibu ku penderita
diabetes yang cukup parah. Ayah kehabisan uang, semua harta di jual untuk
pengobatan Ibu. Sehingga Aku dan Adikku yang masih kelas 2 SD harus Drop Out. Sebulan lalu Ayahku meninggal
karena kecelakaan bersama beberapa kuli bangunan lainnya..” Rima menghela
nafasnya sebentar. Dan Aku masih mendengarkannya dengan seksama.
“Aku nggak tau kenapa musibah selalu menimpa
keluarga Kami, harusnya hari ini jadwal Ibu untuk cuci darah, nanti sore
tepatnya. Ginjal Ibu sudah hampir nggak berfungsi Ndah, dan Aku nggak bisa
ngebayangin apa yang bakal terjadi pada Ibu bila Aku nggak dapat uang hari ini.
Cuma Ibu Orang Tua yang kumiliki saat ini. Memang, kalaupun semua kue ini
terjual hasilnya pun nggak mampu membawa Ibu cuci darah di rumah sakit. Tapi
setidaknya aku telah berusaha, tapi ini..” dia terdiam, lalu mengerjapkan
matanya. Sebutir air mata jatuh, Aku seperti merasakan sesesak apa yang Rima
rasakan. Dan yang paling buruk dari bagian ini Adalah Aku nggak bisa membantu
Rima, meringankan sedikit bebannya.
“Aku yakin nggak ada seorang pun Anak yang
tega melihat ibunya tiap hari menderita Ndah, Ibu Ku hanya bisa terbaring di ranjangnya.
Aku mengerti betapa Ia ingin melihatku kembali menjadi Mahasiswi, betapa ingin
Ia melihatku bahagia. Apalagi bila Ibu melihat Adikku yang masih sangat kecil
untuk menerima semua ini.”
“Tapi, satu hal yang Ku kagumi dari Ibu. Ibu
ku nggak pernah nangis Ndah. Apalagi mengeluh, padahal Aku nggak ngebayangin
betapa sakitnya seorang yang selalu cuci darah. Ibu.” Mata Rima menerawang,
“Kata orang,
Seseorang yang udah sering cuci darah usianya nggak bakal lama..”
“Nggak ada seorang pun yang bisa menebak umur,
apalagi menentukan kapan Ia akan berakhir Rim..” aku meyakinkannya.
“ibu ku sakit, dan itu lebih parah dari apa
yang kamu bayangkan Ndah. Ibu yang dulu mengajariku mengeja satu per satu kata.
Ibu yang mengajariku berhitung, Ibu yang memarahiku tiap aku nakal, bahkan Ibu
yang dulu dengan tangannya sendiri merawatku tiap aku sakit. Kini aku harus
melihatnya menderita bahkan sebentar lagi kehilangannya.”
“kamu ngomong apa? Jangan gitu.”
“Meskipun kelihatannya nggak mungkin, harapan
itu pasti ada, Tuhan nggak mungkin menciptakan suatu masalah kalo nggak ada
penyelesaiannya. Dia tau apa yang terbaik buat kita.”
“Tapi nanti malam ndah, nanti malam udah
batasnya. Cuci darah bukan sekedar bayar puluhan ribu. Dan aku belum dapat uang
sebesar itu.” pandangan rima terlihat kosong, lurus menatap kedepan.
Aku nggak tau apa yang harus aku lakukan bila
aku berada di posisi rima. Umurnya mungkin sebayaku, sekitar 19 tahunan.
Ayahnya baru saja meninggal, sedang ibunya sakit parah. Nggak ada yang bisa dia
harapkan, satu satunya yang ia punya hanya hati dan niat untuk terus tak henti
berharap agar ibunya sembuh dan semuanya ini bisa berubah menjadi lebih baik.
Diam diam aku sedikit bersyukur atas apa yang
ku miliki saat ini. Bukan maksudku membandingkan hidupku dengan hidup rima.
Tapi paling tidak aku mempunyai kedua orang tua, yang ku anggap sebagai kedua
belah sayapku sendiri. Dua malaikat yang mampu membawaku hingga aku bisa tebang
tinggi seperti sekarang. Apalagi ibu, selain sayap ku. Kedua tangan lembut ibu
adalah mataku. Dimana aku bisa melihat karena beliau.
Sungguh, aku tak pernah mau ibuku terkena
suatu masalah apapun, sekecil apapun itu penderitaannya. Aku tak pernah mau ibu
merasakannya.
“Kamu jaga ibu kamu baik baik ya..” kata rima
kepadaku, itu bukan hanya sekedar kata kata. Apa yang di ucapkan Rima tak se
ringan arti harfiahnya.
“Tentu saja.” Ya, tentu saja aku akan menjaga
ibuku. Satu satunya orang yang melahirkanku, membesarkanku, menjagaku,
melindungiku, sehingga aku bisa seperti sekarang ini. Sebagian besar hatiku
adalah ibuku. Dialah segalanya.
Tak terasa bis sudah berhenti di
pemberhentian, tepat di sebuah halte yang cukup ramai. Aku dan Rima bersiap
turun dari bis. Aku membawakan sedikit dari beberapa kotak kotak kue yang Rima
bawa. Kasihan teman baruku ini, hatiku sedikit terenyuh ketika membawa kue kue
ini. Seandainya aku punya uang, ya sedikit asal bisa membantu rima. Aku ingin
sekali membantu rima, tapi bahkan aku pun kesusahan uang. Hanya doa yang tulus
untuk ibu, adik dan masa depannya.
“Endah..” Panggil Rima.
“Ya?”
“Hari ini hari ibu, jangan lupa telfon
ibumu..” kata rima singkat sambil tersenyum kepadaaku. Benarkah? Bahkan aku
lupa hari ini hari ibu. Aku mengangguk pelan seraya tersenyum kepadanya lalu
kami berpisah menuju tempat yang masing masing akan kami tuju. Baru beberapa
langkah aku melangkah, ada seorang anak perempuan menangis terisak isak menuju
ke arah rima.
“Kak rimaa..” suaranya parau dan air matanya
tak dapat berhenti untuk tidak menetes.
“Kenapa? Ada apa?” tanya rima panik, aku
mengamati mereka dari kejauhan.
“ibu kak, ibu udah meninggal kaakk..”
Seketika hatiku terasa ter iris pilu, entah
mengapa dan entah karena apa. Apa jadinya bila kita berpisah dengan orang yang
sangat dekat, sangat penting, dan sangat kita butuhkan untuk selamanya. Aku
menutup mataku, merasakan hampa yang susah untuk ku ungkap. Perlahan dapat
kurasakan setetes air bening meleleh dari pelupuk mataku.
Ibu.
Vee Andrian,
Penikmat musik swing juga sebagian aliran musik aneh lainnya. Hobbynya nggak
jauh jauh sama nulis dan berbagai cara mengutak ngatik kata agar nikmat di
baca. Penyuka warna ungu dan abu abu. Inspirasinya muncul kalo udah ketemu
musik. Nggak pernah bisa hidup tanpa makan coklat. Selalu tersenyum, dan
tersenyum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar