Rabu, 30 Desember 2015

Bu,



Bu,
Ibu, ah Ibu.
Mengapa saat mengingat Ibu Aku selalu merasa beliau adalah pemilik pundak paling nyaman di dunia ini, pemilik hati paling tabah yang pernah ku temui, pemilik air mata paling suci yang bila beliau menangis Aku pun turut merasakan apa yang beliau rasakan. Tiada seorang-pun manusia di bumi ini yang paling mengerti Aku selain Ibu Ku, ya sosok perempuan paling hebat yang pernah ku temui.
Endah,  Mereka biasa memanggilku dengan nama itu. Nama yang diberikan oleh Ayah dan Ibu semenjak hari kelahiranku delapan belas tahun lalu. Aku anak tunggal, selalu di besarkan sendiri. Entah mengapa tuhan belum menakdirkan Ku mendapat seorang Adik. Terbiasa di besarkan sendiri, teman temanku dan mereka diluar sana selalu berpendapat ‘Kamu enak ya, di besarkan tanpa Kakak ataupun Adik. Pasti Kamu sangat dimanja oleh Ayah kamu, apalagi Ibu kamu Ndah’.
Namun sebenarnya tidak sepenuhnya seperti itu, keluarga kecil kami bukan termasuk golongan orang yang kaya. Ayah hanya seorang tukang kebun di suatu instansi pemerintah, dan Ibu hanya seorang pengasuh bayi. Bukan hal mudah atau gampang mendapakan apa yang aku mau dari ke dua orang tuaku, karena untuk makan saja uang itu harus di hemat. Apalagi bila ada keperluan, tentu Ibu lah orang pertama yang paling pusing memutar otak untuk mengatur keuangan.
Beruntung, kedua orang tuaku sanggup menyekolahkanku hingga kini aku tamat SMU dan melanjutkan bersekolah di sebuah Universitas yang ku idamkan, di Fakultas Teknik tepatnya. Namun, Aku bukanlah Mahasiswi penerima bidikmisi karena suatu kesalahan dari SMU Ku dulu. Sehingga biaya UKT (Uang Kuliah Tunggal) harus di bayar dengan uang sendiri. Sebesar 2 juta per satu semester masa per kuliahan, dan itu bukan uang yang sedikit apalagi mudah kami dapat, sedangkan untuk makan sehari hari saja masih susah.
 Kini, Aku pun tinggal di Asrama yang jaraknya ratusan kilo meter dari Ayah dan Ibuku. Bagi seorang Anak tentu bukan hal yang mudah bila harus berpisah dengan kedua orang tuanya. Apalagi Aku merupakan anak tunggal. Apa apa harus dengan ibu, dan kalau boleh jujur Aku memang tidaak pernah bisa jauh dari Ibu. Jika sendiri aku pun juga merasa sedih, jika biasanya ada Ibu yang selalu bertanya tentang apa yang sedang ku lakukan, mendengar keluh kesahku, memberi pelukan hangat padaku. Ah, rasanya aku sangat merindukan kebiasaan kebiasaan itu kini.  Ya, Aku memang berkuliah di luar kota. Tentu biaya makan, dan pengeluaran sehari hari harus sangat di tekan agar tidak terlalu menghabiskan uang kiriman orang tuaku.
Tapi, sekarang aku sangat butuh uang untuk membeli buku untuk materi perkuliahan selama beberapa pertemuan kedepan. Buku ini sangat penting, dan setiap Mahasiswa harus mempunyainya. Dosenku satu ini bukan dosen yang dengan mudah bisa menerima bujukan mahasiswa, beliau sangat keras kepala. Sehingga apapun yang berkaitan dengan kata ‘Harus’ berarti wajib di laksanakan dan sialnya harga buku itu sama dengan jatah makan ku selama satu minggu setengah. Sialnya lagi uang yang ku miliki hanya cukup untuk makan 5 hari saja, dan untuk naik bis agar sampai di toko buku. Tuhann..
Aku duduk di bangku bis dekat jendela, memandangi jalan jalan yang padat dengan pengendara kendaraan. Tubuhku berada di bis ini, namun fikiranku kemana mana. Memikirkan keuanganku, memikirkan ibu. Yang 2 hari lalu menelfonku dari telepon Bude sinah, saudara Ibu yang tinggal di samping rumahku. Ibu bilang, lengan kanannya kambuh lagi. Ya, ibu sempat mengalami kecelakaan 2 tahun lalu. Dan luka yang belum bisa sembuh sampai sekarang adalah lengan kanannya yang masih terasa sakit apabila musim hujan datang seperti ini.
“Boleh duduk disini?” tanya seorang gadis sebayaku.
“Tentu, silahkan..” jawabku ramah sambil sedikit menggeser badan. Tak berselang lama,  bis melaju menyusuri jalan jalan menuju kota. Butuh waktu 30 menit agar bisa sampai di kota. Belum lagi berjalan menuju toko buku langgananku di pinggiran sana.
“Apa Kamu Seorang Mahasiswi?” Tanya gadis di sebelahku dengan ramah, aku menoleh ke arahnya. Penampilannya biasa saja, dia sepertinya membawa sekotak penuh kue kering . Aku dapat melihatnya karena wadah itu transparan. Susah bagiku untuk menebak apakah dia ini masih SMU, atau lulusan tahun ini yang  berarti satu angkatan denganku namun tidak dapat melanjutkan ke jenjang perkuliahan.
“Iya, darimana Kamu tau?” Aku bertanya balik.
“Tentu saja, dulu Aku pernah merasakan menjadi Mahasiswi seperti Kamu. Ah iya, namaku Rima.”  Dia mengulurkan tangannya.
“Endah. .”
“Kamu mau kemana?”
“Ke toko buku di kota. Kamu?” aku balik bertanya.
“Pulang.”  Jawab Rima singkat, seperti ada beban dalam kata katanya. Aku penasaran, mengapa kue kue sebanyak itu dibawa pulang kembali atau memang kue itu pemberian orang?
“Kamu berjualan kue Rima?” tanyaku dengan pelan, takut menyinggung perasaannya.
“Iya, tapi kali ini semua warung menolak untuk menjajakan kue kue ku ini. Biasanya aku menitipkannya di warung warung, tapi entah mengapa kali ini mereka menolak semua kue kue ku..” ujar Rima lirih. Aku menepuk bahunya pelan, Dia berjualan kue. Terlihat jelas dia lebih lebih membutuhkan uang daripada Aku.
“Dulu Aku seorang Mahasiswi di sebuah Perguruan Tinggi Swasta yang cukup bagus di kota ini. Namun, Ibu ku penderita diabetes yang cukup parah. Ayah kehabisan uang, semua harta di jual untuk pengobatan Ibu. Sehingga Aku dan Adikku yang masih kelas 2 SD harus Drop Out. Sebulan lalu Ayahku meninggal karena kecelakaan bersama beberapa kuli bangunan lainnya..” Rima menghela nafasnya sebentar. Dan Aku masih mendengarkannya dengan seksama.
“Aku nggak tau kenapa musibah selalu menimpa keluarga Kami, harusnya hari ini jadwal Ibu untuk cuci darah, nanti sore tepatnya. Ginjal Ibu sudah hampir nggak berfungsi Ndah, dan Aku nggak bisa ngebayangin apa yang bakal terjadi pada Ibu bila Aku nggak dapat uang hari ini. Cuma Ibu Orang Tua yang kumiliki saat ini. Memang, kalaupun semua kue ini terjual hasilnya pun nggak mampu membawa Ibu cuci darah di rumah sakit. Tapi setidaknya aku telah berusaha, tapi ini..” dia terdiam, lalu mengerjapkan matanya. Sebutir air mata jatuh, Aku seperti merasakan sesesak apa yang Rima rasakan. Dan yang paling buruk dari bagian ini Adalah Aku nggak bisa membantu Rima, meringankan sedikit bebannya.
“Aku yakin nggak ada seorang pun Anak yang tega melihat ibunya tiap hari menderita Ndah, Ibu Ku hanya bisa terbaring di ranjangnya. Aku mengerti betapa Ia ingin melihatku kembali menjadi Mahasiswi, betapa ingin Ia melihatku bahagia. Apalagi bila Ibu melihat Adikku yang masih sangat kecil untuk menerima semua ini.”
“Tapi, satu hal yang Ku kagumi dari Ibu. Ibu ku nggak pernah nangis Ndah. Apalagi mengeluh, padahal Aku nggak ngebayangin betapa sakitnya seorang yang selalu cuci darah. Ibu.” Mata Rima menerawang,
“Kata orang,  Seseorang yang udah sering cuci darah usianya nggak bakal lama..”
“Nggak ada seorang pun yang bisa menebak umur, apalagi menentukan kapan Ia akan berakhir Rim..” aku meyakinkannya.
“ibu ku sakit, dan itu lebih parah dari apa yang kamu bayangkan Ndah. Ibu yang dulu mengajariku mengeja satu per satu kata. Ibu yang mengajariku berhitung, Ibu yang memarahiku tiap aku nakal, bahkan Ibu yang dulu dengan tangannya sendiri merawatku tiap aku sakit. Kini aku harus melihatnya menderita bahkan sebentar lagi kehilangannya.”
“kamu ngomong apa? Jangan gitu.”
“Meskipun kelihatannya nggak mungkin, harapan itu pasti ada, Tuhan nggak mungkin menciptakan suatu masalah kalo nggak ada penyelesaiannya. Dia tau apa yang terbaik buat kita.”
“Tapi nanti malam ndah, nanti malam udah batasnya. Cuci darah bukan sekedar bayar puluhan ribu. Dan aku belum dapat uang sebesar itu.” pandangan rima terlihat kosong, lurus menatap kedepan.
Aku nggak tau apa yang harus aku lakukan bila aku berada di posisi rima. Umurnya mungkin sebayaku, sekitar 19 tahunan. Ayahnya baru saja meninggal, sedang ibunya sakit parah. Nggak ada yang bisa dia harapkan, satu satunya yang ia punya hanya hati dan niat untuk terus tak henti berharap agar ibunya sembuh dan semuanya ini bisa berubah menjadi lebih baik.
Diam diam aku sedikit bersyukur atas apa yang ku miliki saat ini. Bukan maksudku membandingkan hidupku dengan hidup rima. Tapi paling tidak aku mempunyai kedua orang tua, yang ku anggap sebagai kedua belah sayapku sendiri. Dua malaikat yang mampu membawaku hingga aku bisa tebang tinggi seperti sekarang. Apalagi ibu, selain sayap ku. Kedua tangan lembut ibu adalah mataku. Dimana aku bisa melihat karena beliau.
Sungguh, aku tak pernah mau ibuku terkena suatu masalah apapun, sekecil apapun itu penderitaannya. Aku tak pernah mau ibu merasakannya.
“Kamu jaga ibu kamu baik baik ya..” kata rima kepadaku, itu bukan hanya sekedar kata kata. Apa yang di ucapkan Rima tak se ringan arti harfiahnya.
“Tentu saja.” Ya, tentu saja aku akan menjaga ibuku. Satu satunya orang yang melahirkanku, membesarkanku, menjagaku, melindungiku, sehingga aku bisa seperti sekarang ini. Sebagian besar hatiku adalah ibuku. Dialah segalanya.
Tak terasa bis sudah berhenti di pemberhentian, tepat di sebuah halte yang cukup ramai. Aku dan Rima bersiap turun dari bis. Aku membawakan sedikit dari beberapa kotak kotak kue yang Rima bawa. Kasihan teman baruku ini, hatiku sedikit terenyuh ketika membawa kue kue ini. Seandainya aku punya uang, ya sedikit asal bisa membantu rima. Aku ingin sekali membantu rima, tapi bahkan aku pun kesusahan uang. Hanya doa yang tulus untuk ibu, adik dan masa depannya.
“Endah..” Panggil Rima.
“Ya?”
“Hari ini hari ibu, jangan lupa telfon ibumu..” kata rima singkat sambil tersenyum kepadaaku. Benarkah? Bahkan aku lupa hari ini hari ibu. Aku mengangguk pelan seraya tersenyum kepadanya lalu kami berpisah menuju tempat yang masing masing akan kami tuju. Baru beberapa langkah aku melangkah, ada seorang anak perempuan menangis terisak isak menuju ke arah rima.
“Kak rimaa..” suaranya parau dan air matanya tak dapat berhenti untuk tidak menetes.
“Kenapa? Ada apa?” tanya rima panik, aku mengamati mereka dari kejauhan.
“ibu kak, ibu udah meninggal kaakk..”
Seketika hatiku terasa ter iris pilu, entah mengapa dan entah karena apa. Apa jadinya bila kita berpisah dengan orang yang sangat dekat, sangat penting, dan sangat kita butuhkan untuk selamanya. Aku menutup mataku, merasakan hampa yang susah untuk ku ungkap. Perlahan dapat kurasakan setetes air bening meleleh dari pelupuk mataku.
Ibu.












Vee Andrian, Penikmat musik swing juga sebagian aliran musik aneh lainnya. Hobbynya nggak jauh jauh sama nulis dan berbagai cara mengutak ngatik kata agar nikmat di baca. Penyuka warna ungu dan abu abu. Inspirasinya muncul kalo udah ketemu musik. Nggak pernah bisa hidup tanpa makan coklat. Selalu tersenyum, dan tersenyum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar