Tidak ada yang lebih bisa membuat
hatiku damai selain membaui wangi tanah dan sejuknya daun ketika hujan reda.
Tiada yang mampu mengalahkan romantisnya gerimis ketika menyapa daun helai demi
helai, lalu membuatnya basah dan seakan lupa bagaimana caranya gugur. Dan,
dengan semua itu aku selalu berfikir betapa Tuhan sangat baik menuntunku untuk
menemukan keajaiban demi keajaiban kecil dibawah rintik hujan. Sama seperti
saat itu, Lima tahun lalu. Aku mengenalmu pada saat kelas tiga SMU. Dibawah
rintik hujan aku berjalan pelan lalu bukan dengan sebuah pertemuan pertama yang
ku harapkan indah, kau menabrakku dengan sepedamu yang kau ayuh kencang.
Hanya gadis bodoh dan kekanak kanakan
yang ingin dan dengan sadar berjalan di bawah hujan, selalu itu yang kau
katakan. Dan kau selalu benar. Menebak dengan tepat dan sialnya dari semua kata
kata mu yang membuatku sakit hati, tak pernah satu diantaranya yang mampu
menggoyahkan rasa ku kepadamu. Di sini di bawah rintik hujan yang sama, aku
berharap Tuhan menuntunku untuk menemukan sebuah keajaiban. Sekali lagi.
***
5 Tahun lalu..
“Aku Sandria..” kataku memperkenalkan
diri.
“Hilda..” Jabatnya. Cuek sekali,
rasanya aku perlu berfikir lebih dari seribu kali untuk setuju dengan keputusan
Ayah dan Ibu membawaku pindah ke luar kota. Berkali kali aku pindah sekolah,
dan ku kira ini yang terakhir karena ini memang tahun terakhirku berada di
bangku SMU.
Pada dasarnya aku memang di takdirkan
dengan sifat cuek yang terkadang sampai berpengaruh pada ekspresi muka dan
membuatku terlihat menyebalkan. Bukan aku yang meminta dilahirkan dengan
keajaiban semacam ini. Tunggu, keajaiban? Yah sebut saja begitu memangnya siapa
yang akan perduli.
“Kamu murid baru?” Tanya seorang siswi
dengan nada sinis menghampiri bangku ku.
“Iya, kenapa?” Aku balik bertanya.
“Mentang mentang murid baru jangan
asal duduk dong. Ini bangku udah ada
yang nempatin..” katanya sambil membanting tas ku ke bangku lain.
“Biasa aja dong, lagian ini bangku
milik semua yang sekolah disini. Dan aku bayar buat bisa duduk disini..” kataku
tak kalah sinis nya.
“Jadi anak baru ini mulai berani!!”
katanya sambil menarik kerah kemeja sekolahku. Sial, kenapa cewek bisa sekuat
ini sih.
“Lepasin..!” kataku sambil berusaha
melepaskan cengkramannya.
“Vida! Lepaskan!!” seorang guru
perempuan bertubuh tambun tiba tiba datang dan menghentikan kegaduhan yang kami
( maksudku yang gadis sok kuat ini ) buat .
“Jangan pernah buat kegaduhan lagi! Kamu
Vida! Jangan sok kuat di kelas, ini ruang belajar bukan arena Judo. Dan kamu
Siswi baru, jangan pernah coba coba membuat keributan di sekolah ini!” kalo dia
gak mulai sok kuasa aku juga gak bakal nyolot. Dan percayalah setelah hari
pertama di sekolah baru yang sangat menjengkelkan, sepanjang hari ini adalah
hari yang sangat sangat buruk.
Semua yang ada di SMU ini rasanya
tidak ada yang ingin berteman denganku. Aku sama sekali tidak memiliki teman
untuk sekedar bercerita kalau tadi ada yang hampir mencekik ku dengan satu
tangan. Sejak aku dan keluargaku hidup berpindah pindah, aku memang tidak pernah
benar benar memiliki sahabat dekat. Sulit rasanya mempercayai seseorang ketika
belum benar benar mengenal siapa dia sebenarnya. Hanya ada beberapa akun di
sosial media yang ku jadaikan tempat ku bercerita. Dan akhir akhir ini aku
tersadar, mereka adalah maya. Bisa saja mereka tidak menolongku ketika aku
benar benar hampir mati, karena mereka adalah maya.
Kelas berahir tepat pukul 3 sore.
Teman sekelasku berhamburan keluar sementara aku bermalas malasan menyeret kaki
ku meninggalkan ruang kelas. Rasanya hidupku membosankan, disekolah yang sangat
menyebalkan juga di rumah dengan kedua orang tua yang selalu sibuk dengan
setumpuk kertas dengan tinta tinta hitam juga handphone yang tak pernah berada
jauh dari telinga mereka. Kapan mereka ada waktu untukku? Benar benar tidak ada
yang ingin perduli denganku.
Tak terasa tetes demi tetes kecil
gerimis berjatuhan dari langit, dan langit pun perlahan semakin menampakkan
gumpalan awan hitam yang tidak terlalu pekat. Ahh aku selalu menyukai bau tanah
yang disiram gerimis. Sebenarnya, dari semua hal yang ku benci di kota ini ada
hal yang selalu membuatku jatuh cinta, hujan. Hanya hujan dan suasana romantis
yang ia tebarkan setelahnya. Aku tak perlu naik kendaraan agar sampai ke rumah,
aku mencintai setiap pohon rindang yang memayungi di sepanjang perjalanan
antara rumah dan sekolah.
“Minggiiiiirrrrrrr........!” Teriak seseorang dengan kencang di
belakangku. Aku yang refleks mengikuti perintahnya tidak sempat lagi berfikir
dan langsung menggir sehingga membuatku terjatuh. dan sialnya, genangan air
hujan yang berada tepat di sampingku menyiramkan air kotornya ke seragam
putihku. Ku lihat siswa laki laki itu menjatuhkan tubuhnya di pinggir jalan,
aku baru sadar kalau rem sepedanya blong. Aku yang semula kesal karena perbuatannya
mengurungkan niatku melabrak ia yang seenaknya mengotori seragamku.
“Kamu baik baik aja?” tanyaku sambil
membantunya berdiri. Kulihat siku nya berdarah tergores batu batu kecil yang
berserakan di sekitar tempatnya terjatuh. Dia memandangku seakan aku adalah
spesies serangga baru saja ia identifikasi, aneh. Dan dia memang benar benar
aneh, tidak mengucapkan sepatah kata pun dan dengan tidak bersalahnya langsung
mengayuh sepedanya kembali. Apa tidak ada lagi yang lebih waras di kota ini?
***
Aku mengeringkan rambutku dan baru
saja selesai mandi ketika aku melihatnya mendorong sepeda melewati depan
rumahku. Jadi dia tetanggaku? Maksudku cowok yang kemarin mengotori seragamku.
Aku segera bersiap berangkat sekolah dan berlari mengejarnya. Aku bisa melihat
punggungnya meskipun dari jarak yang lumayan jauh.
“Hai..” nafasku tersengal karena
berlari mengejarnya.
“Hai..” jawabnya cuek.
“Kamu satu sekolah sama aku deh
kayaknya, luka jatuh kemarin udah baikan?” tanyaku. Ekspresinya datar, tidak
ramah, tidak juga acuh, dan tidak termasuk kategori sombong. Dia sulit di
tebak, tapi harus ku akui dia tampan.
“Lumanyan..” katanya sambil menunjukan
siku nya yang terbalut perban.
“Namaku sandria..” aku memperkenalkan
diri sambil terus berjalan mengikuti langkahnya.
“Lambang..”
“Maksudnya?”
“Namaku Herlambang, orang orang
manggilnya lambang..” katanya sambil sedikit menarik sebuah senyuman kecil di
dua sudut bibirnya. Aku suka senyuman itu, senyum ramah yang akhirnya ku
temukan di kota baru ku.
“Kamu tau kan kita tetanggaan?”
tanyaku membuka percakapan.
“Oh ya?”
“iya, dua rumah di depan rumahku..”
jawabku.
“Aku juga tau kamu siswi baru 3 IPA
5..” katanya. Dia benar benar misterius.
Perjalanan yang ditempuh antara rumah
ke sekolah membutuhkan waktu 15 menit berjalan kaki. Dan sepanjang waktu itu,
aku menghabiskannya bersama lambang. Ternyata dia nggak se cuek itu, dia
nyambung diajak ngobrol meskipun yah sedikit kaku. Dia menyukai berjalan kaki
di pagi hari dan berangkat ke sekolah lebih awal karena suasana sejuk di
sekitar sekolah hanya bisa di nikmati saat sendiri. Dia benar benar menyukai
kesendirian. Gerbang sekolah sudah terlihat, dan itu menyudahi obrolan kami.
“Boleh kita ngobrol lagi?” tanyanya,
seperti aku akan segera hilang dengan dua sayap imajiner yang hanya dia saja
melihatnya.
“Kapanpun kamu mau. Kecuali jam 12
malem di atas pohon beringin ya..” kataku menggodanya. Dia tertawa kecil,
memarkir sepedanya dan melambai kepadaku sebelum masuk ke kelasnya.
Seperti biasa, kelas 3 SMU merupakan kelas terakhir dari semua
kejenuhan yang berpusat dari setumpuk latihan soal menjelang ujian nasional.
Persamaan lingkaran dan garis singgung, suku banyak, algoritma sisa dan
sekumpulan bab dari matematika yang membuat mata ku berkunang kunang. Aku
menahan nafas lalu mengeluarkannya pelan pelan, sama seperti ibu ibu yang akan
melahirkan. Rasanya akan selalu sama setiap aku melakukannya walau ber ulang
ulang, tenang. Aku duduk di bangku pinggir lapangan basket yang sepi. Aku masih
belum faham kenapa orang orang disini cuek sekali. Masih seperti kemarin
tentunya, tanpa teman.
Aku menyandarkan punggungku ke bangku dan mulai membuka komik
chapter terbaru yang baru kuterima kemarin malam. Rasanya sangat menyenangkan untuk
menyingkirkan rumus rumus menyebalkan di buku latihanku itu.
“Hei..” Keluhku saat komik yang ku baca di rebut seseorang.
Lambang, dia tersenyum. Oh tuhan jangan menatapku dengan senyuman itu.
“Jangan baca komik di sekolah ini, nanti kamu kena kutukan..” kata
Lambang
“Lambang, harga beras hampir naik 500 rupiah tiap bulan dan kamu
masih percaya kutukan..” aku mengrenyit dan menatapnya aneh.
“kamu lihat cowok yang baru masuk? Namanya Adrian, dia jago banget
main basket..” Lambang mengarahkanku untuk melihat cowok tinggi dan gak kalah
cakepnya dibanding dia. Cowok itu berjalan memasuki lapangan dengan bola basket
di tangan kanan nya.
“Terus?” tanyaku masih belum faham kenapa lambang membicarakan
adrian.
“kamu hati hati sama bola itu. Kutukan komik.” Lambang tersenyum simpul lalu beralih menatap
buku latihan soalnya. Belum ada 5 menit setelah Lambang mengingatkanku, bola
yang dimainkan adrian nyaris menghantam mukaku kalau saja tangan Lambang tidak
menghadangnya. Tepat satu centi di depan hidungku. Aku menatap Lambang dengan
pandangan aneh , campuran antara kagum, berterima kasih dan masih belum percaya
kalau apa yang di katakannya tadi bena benar terjadi.
“Ikut aku, disini banyak kutukan yang gak baik buat kamu..” kata
Lambang, lagi lagi dengan kata kutukan. Aku membereskan barang barangku dan
mengikutinya dari belakang.
Dia mengeluarkan sepedanya, dan menyuruhku naik. Tidak bisa
disebut dia memboncengku, karena aku berdiri dan menopangkan kaki ku di pijakan
ban belakang. Sepeda lambang tidak ada boncengan, terpaksa aku harus berdiri
dan menjaga keseimbangan tubuhku dengan memegang bahu lambang.
“Jujur ini baru pertama kalinya aku kayak gini, apa aku berat?”
tanyaku kepada lambang sambil tertawa kecil, menikmati kekonyolan kami. Kami
bukan anak kecil dan badanku tidak semungil dulu untuk di bonceng seperti ini.
“Lumayan..” jawabnya juga sambil tertawa kecil. Aku memukul pelan
bahunya yang bidang.
Kami melewati pohon pohon rindang di tepi jalan, lapangan rumput
dengan banyak domba putih berkejaran. Rasanya seperti berada dalam sebuah
dongeng, aku hampir tak percaya di zaman modern dengan globalisasi yang
menyentuh semua bidang, ternyata masih ada daerah se asri ini. Lambang mengayuh
sepedanya dengan kencang saat melewati jalan menanjak, aku memegang pundaknya
erat nyaris memeluknya. Tak terasa 15 menit aku berdiri di belakangnya, sama
sekali tidak capek padahal biasanya aku paling suka mengeluh. Dia menyuruhku
turun di jalan setapak dengan rumput hijau penuh bunga kesukaanku, dandelion.
“Kita harus jalan buat sampai di tempat yang aku maksud, gak pa-pa
kan?” tanyanya, aku terdiam. “Gak akan
lama, trust me.” Katanya seakan bisa membaca fikiranku. Aku mengangguk pelan,
sebenarnya aku bisa berjalan lebih jauh lagi tapi aku haus.
Aku dan lambang melewati jalan setapak yang hampir menyerupai
bukit karena yang kami lewati semakin menanjak. Rumput rumput bergerak
mengikuti arah angin, tak terkecuali dengan rambutku yang tergerai. Bunga bunga
dandelion menebarkan awan awan kecil putih nan bersih, indah sekali.
“Kita sudah sampai..” kata lambang mengakhiri kekagumanku pada tempat
ini.
“Danau?” tanyaku setengah tak percaya.
“iya danau..” tegas lambang.
“kok bisa.. ah.. eh maksudku ini kayak mimpi.. wah..” kataku kagum.
Lambang hanya tersenyum. Aku berlari menuju tepian danau, seakan merayakan
kebebasanku.
“Sandria jangan sentuh airnya, nanti kamu kena kutukan...” teriak
Lambang dari jauh. Aku mengabaikan peringatannya walau dalam hati aku sedikit
mempercayai itu. Dan astaga, airnya sejuk sekali. Tiba tiba gerimis kecil jatuh
satu per satu, aku pun mundur perlahan. Aku menoleh ke arah lambang, sore ini
cuaca cerah dan tiba tiba mendung lalu gerimis.
“Kutukan kedua..” kata lambang, lalu aku berlari ke arahnya yang
berteduh di bawah pohon rindang. Hanya gerimis tidak hujan, tapi rasanya
berbeda sekali.
“Aku kayak dapet keajaiban...” kataku sambil menengadahkan
tanganku menangkap tetes demi tetes butiran air yang terjatuh dari langit.
“Kenapa kamu suka gerimis?
Setauku hanya gadis bodoh dan kekanak kanakan yang ingin dan dengan
sadar berjalan di bawah hujan..” lambang berkata sambil tersenyum.
“Eh.. kenapa kamu bisa ngomong gitu?” aku bertanya heran, namun lambang hanya memberi jawaban lewat
tatap matanya.
“Kamu pasti bakal nemuin satu momen dimana kamu bisa tenang untuk
beberapa saat berada disitu, mencintai momen itu dan selalu berharap mengulang
hal yang sama..” aku seakan bermonolog tentang sesuatu paling indah di dunia.
“mungkin aku udah nemuin momen itu..”
“Kok mungkin?” tanyaku, lagi lagi aku bermonolog karena sepertinya
Lambang tak menghiraukan pertanyaanku dan berjalan ke arah lain, termenung
disana untuk beberapa saat. Aku membenarkan posisi duduk ku dan baru sadar
kalau aku menjatuhkan selembar kertas dari tas lambang yang ku senggol. Sebuah
puisi.
“Lambang..” panggilku.
“Ya?” jawabnya sambil menoleh kearahku.
“Apa dengan kita bertemu, itu adalah sebuah kutukan?”
***
Ini adalah minggu minggu terakhirku berada di sekolah ini,
sepertinya tidak ada yang bisa di ceritakan dari pengalamanku menghadapi teman
teman sekelasku yang harus ku eja kembali per huruf saat aku ingin memanggil
mereka teman. Karena bagiku teman yang benar benar ku anggp teman hanyalah
Lambang. Kami berjuang bersama, belajar pagi-siang-malam selama beberapa bulan
demi beberapa hari dalam satu minggu pada bulan april tahun ini. Dan minggu ini
akan ada pengumuman kelulusan. Semua ini terasa seperti berproses melewati
sebuah gerbang baru yang ajaib. Tapi bagiku hidup adalah melewati gerbang demi
gerbang untuk menemukan sesuatu yang baru. Sebuah proses yang panjang untuk
melewati hidup.
Sekarang aku terbiasa ke danau tempat aku dan lambang pertama kali
menikmati gerimis dulu. Tidak ada mall, tidak ada cafe dan tempat hiburan
modern di sekitar sini, kukira aku memang tidak memerlukannya. Aku mencintai
danau dan hamparan rumput serta bunga bunga dandelion. Aku mencintai gerimis
yang datang tiba tiba dan mengundang hujan untuk membasahiku sejenak. Lambang
akan berada di sampingku saat aku tertawa atau bahkan saat aku menangisi semua
kekesalanku, dia selalu ada untuk itu. Seperti sore ini.
“setelah hari kelulusan kamu akan pergi jauh..” kata lambang
kepadaku. Dia selalu seperti ini, berbicara hanya dengan kalimat yang ia saja
mampu memahaminya.
“Aku bahkan nggak tau setelah ini takdir membawaku kemana..”
kataku.
“Dengan kita bertemu itu adalah kutukan...”
“Apa maksud kamu?” tanyaku seakan tak ingin mendengar apa yang
baru saja lambang katakan.
“Aku nggak maksud..”
“Lalu setelah ini kutukan apa yang bakal aku dapetin?” tanyaku
memotong perkataan lambang. Rasanya aku sedikit sensitif sore ini, Ayah
merencanakan akan membawa aku dan ibu pindah ke kota lain. Aku berharap rencana
ayah gagal dan sengaja tak menceritakannya pada lambang. Tapi dia tau, dia
selalu tau tanpa harus aku bicara.
Aku tak bisa mendefinisikan bagaimana hubungan yang kami jalani
sekarang, hampir satu tahun kami bersama. Hanya teman, tidak pernah kami ber
ikrar lebih dari sekedar itu. Bukan sahabat, tapi lebih dari seorang teman.
Bukan sepasang kekasih tapi kedekatan kami hampir memudarkan batas sebuah
pertemanan biasa. Entahlah, aku pun sangat menyayanginya dalam waktu yang
singkat ini. Kami bisa saling mengetahui isi hati masing masing hanya dengan tatapan
mata. Tentu akan sangat berat meninggalkan orang yang begitu mengerti kita.
“Kamu bakal pergi..” kata Lambang pelan.
Tanpa jawaban aku memandangnya wajahnya, menusuk tepat di dua
belah matanya. Perlahan mataku melelehkan air bening yang sangat ku benci
datangnya. Aku memalingkan wajahku ketika tangan Lambang ingin mengusap air
mataku yang telah terjatuh. Riak air danau yang tenang tidak lagi membuatku
nyaman, dadaku sesak.
Tanpa kata aku meninggalkan Lambang di tepian danau, ku kayuh
sepedaku cepat cepat secepat isakkanku yang mulai terasa menyakitkan. Sekali
lagi ingin ku teriakkan di dalam otakku agar mendengung di ingatan : bahwa yang
tak pernah dimulai tidak akan pernah menjadi sebuah kenangan. Selalu aku
mencoba berusaha meyakinkan diriku sendiri kalau aku akan baik baik saja tanpa
lambang. Akan baik baik saja, tetap baik baik saja.
***
Tapi pada kenyataannya,hati selalu menjadi bagian yang tak pernah
bisa di bohongi. Ribuan hari tyan ku lewati tanpanya, entah tak terhitung lagi
banyaknya rinduku untuk seseorang yang pertama kali mengenalkanku dengan apa
yang namanya keajaiban. Ah entah apa namanya, kutukan aneh yang mungkin ku
sebut keajaiban. Aku sendiri tak pernah berharap lebih,menemukan lagi sesosok
lelaki seperti dia.
Dan bagaimanapun semuanya tidak bisa dilupakan, karena itu adalah
sejarahku bukan sampah. Seandainya aku adalah penulis takdir hidupku sendiri,
aku ingin membuat akhir yang indah untuk cerita ini ceritaku dengannya,
lambang. Mungkin aku tak akan membiarkan lambang duduk memandangiku pergi
dengan pipi basah setelah menangis. Mungkin aku bisa menahan emosiku yang
sungguh meledak ledak. Dan, dari semuanya itu aku hanya ingin lambang
memanggilku dan menghalangiku untuk pergi, itu saja. Bukankah selalu
menyakitkan menjadi pihak yang ditinggalkan? Kenapa ia mau menjadi sosok itu.
Sekarang, setelah 4 tahun semuanya berlalu. Di gerbang SMU kami
tempat pertama kali ia meminta pertemanannya denganku, semuanya masih sama.
Hanya saja suasananya akan berbeda dengan tanpa dia disini, entah sejak kapan
aku jadi melankolis seperti ini. Langit sedang mendung sekarang, pohon pohon
yang rindang menambah kelabu suasana sore ini. Mungkin akan terlihat konyol
seorang wanita muda di minggu sore mengenakan jubah hitam lengkap dengan toga
nya berjalan sendiri di halaman SMU yang sepi.
Tapi ini aku, inilah aku. Lihat aku, aku bisa dan sangat berhasil
menempuh masa kuliahku. Sarjana Teknik. Dengan 3.5 tahun kuhabiskan di
perguruan tinggi negeri yang dulu sama sama kita impikan namun kau
menghempaskan mimpimu dan membiarkanku terkatung katung sendirian menghadapi
dunia mudaku. Kita bertemu bukanlah sebuah kutukan untukku, dan bukan sebuah
musibah bagimu. Namun kau sendiri yang mengutukku, menciptakan jurang yang
dalam untuk kita dan sengaja kau terjun di dalamnya.
Lambang, sekarang aku berada di gerbang SMU kita.Beberapa hari
lalu aku mengunjungi tempat yang lebih sunyi dari danau mu yang kau bagi
denganku dulu. Disana banyak manusia terlelap sangat lama dan menyerahkan semua
ingin dan harapannya pada sebuah papan. Aku tak mengerti dengan semua perasaan
yang mulai berkecamuk dalam dadaku. Sesak yang sejak aku meninggalkanmu tak
ingin kurasakan lagi kini terulang padaku. Sejak itu aku merasa lebih baik
meinggalkanmu saja. Biarkan aku bertemu dengan mu lagi di danau tempat kau
berbagi puisi puisimu. Kau tau?
Terkadang aku berharap mendengar kutukanmu lagi, itu caramu
menghindarkanku dari hal hal yang akan menyakitiku dengan menciptakan keajaiban
kecil di dalamnya. Selalu di bawah rintik gerimis. Aku pamit ya, dibawah rintik
gerimis yang sama kelak kita akan bertemu lagi.
Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?”
tanyamu.
Kita abadi.
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?”
tanyamu.
Kita abadi.
Bangkalan Oktober 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar