Di Tengah Pesta Dansa
Aku menatap kartu undangan pesta ulang tahun
nan manis di atas meja di kamarku. Pesta ulang tahun Anggun. Warnanya
putih metalik, dihiasi pita emas, dan taburan glitter warna-warni.
Harumnya … hmmm, seperti harum permen karet kesukaanku. Kartu undangan yang
mewah. Sepintas kulihat kalimat di bagian bawah kartu.
Garden Party.
Dress Code:
Wow, kujamin, pesta ulang tahun ke-17 Anggun kali
ini tak kalah megah dan meriah dibandingkan pesta ulang tahunnya yang
sebelumnya.
Anggun, temanku sekolahku, seorang gadis berkulit
putih mulus bak pualam dan berwajah cantik seperti manekin yang kerap
dipajang butik-butik pakaian mahal dan bermerek. Wajah dan postur
tinggi semampainya mewarisi gen ibunya yang keturunan Jerman. Sementara, tutur
katanya yang lembut berasal dari didikan ayahnya yang asli Yogya. Konon
katanya, ayah Anggun masih ada hubungan saudara dengan sultan keraton
Yogya. Jadi, Anggun memiliki darah biru alias keturunan bangsawan. Ck ck
ck!
Anggun putri tunggal dari lingkungan
keluarga berada. Ayahnya pemilik sebuah perusahaan raksasa yang bergerak di
bagian penyediaan komputer dan alat-alat perkantoran. Ibunya aktif dalam
pengelolaan yayasan sosial yang mereka miliki.
Kadang-kadang aku iri dengan temanku itu. Tak terhitung jumlah cowok yang mengejar-ngejar dirinya. Dari mulai Sahat, ketua OSIS yang ganteng; Bram, redaktur buletin sekolah yang pintar; Aldi, sang pemain piano klasik yang andal; sampai Vino, pemegang medali perak olimpiade matematika yang pernah diadakan di Bulgaria. Kurang apa mereka coba? Tapi, tak ada satu pun cinta mereka yang diterima Anggun. Cowok-cowok itu harus mundur teratur karena ditolak. Anggun selalu berkata kalau dia belum ingin pacaran karena ingin menamatkan sekolahnya dulu, lalu melanjutkan kuliah jurusan Ekonomi Akuntansi di sebuah universitas ternama di Jakarta, terus mengambil gelar Master of Finance di Australia. Mungkin alasannya klise bagi orang-orang, tapi tidak bagi Anggun. Dia benar-benar serius mengejar cita-cita. Belajar keras, rajin ikut les privat ini itu. Di kelas, Anggun selalu menduduki peringkat kedua (hohoho, kalau mau tahu, yang langganan peringkat pertama adalah aku!). Di mataku, Anggun adalah cewek yang ambisius. Dengar-dengar, ayahnya akan menyerahkan perusahaan itu kepadanya suatu saat kelak.
Kadang-kadang aku iri dengan temanku itu. Tak terhitung jumlah cowok yang mengejar-ngejar dirinya. Dari mulai Sahat, ketua OSIS yang ganteng; Bram, redaktur buletin sekolah yang pintar; Aldi, sang pemain piano klasik yang andal; sampai Vino, pemegang medali perak olimpiade matematika yang pernah diadakan di Bulgaria. Kurang apa mereka coba? Tapi, tak ada satu pun cinta mereka yang diterima Anggun. Cowok-cowok itu harus mundur teratur karena ditolak. Anggun selalu berkata kalau dia belum ingin pacaran karena ingin menamatkan sekolahnya dulu, lalu melanjutkan kuliah jurusan Ekonomi Akuntansi di sebuah universitas ternama di Jakarta, terus mengambil gelar Master of Finance di Australia. Mungkin alasannya klise bagi orang-orang, tapi tidak bagi Anggun. Dia benar-benar serius mengejar cita-cita. Belajar keras, rajin ikut les privat ini itu. Di kelas, Anggun selalu menduduki peringkat kedua (hohoho, kalau mau tahu, yang langganan peringkat pertama adalah aku!). Di mataku, Anggun adalah cewek yang ambisius. Dengar-dengar, ayahnya akan menyerahkan perusahaan itu kepadanya suatu saat kelak.
Anggun memang cantik, pintar, kaya raya, dan
bertutur lembut. Namun menurutku ya, nilai kepribadiannya agak di
bawah rata-rata. Habis, dia sering merendahkan orang lain, termasuk aku. Tak
jarang aku dijadikan bahan olok-oloknya. Dia mengejek sepatuku yang butut, jam
tanganku yang kuno, tasku yang belel, atau seragam sekolahku yang ditambal.
“Wah, wah … Teman-Teman, lihat, lihat, bajunya Tita
cuakep beneeer ... tambal sulamnya itu lho, ndak kuaaat …!” demikian
sindir Anggun sambil tertawa. Teman-teman satu gengnya ikut cekikikan.
Masalah seragam, sebenarnya aku ingin membeli yang baru. Tapi
kupikir-pikir, tahun depan aku tamat. Tinggal sebentar lagi, kupakai saja
yang ‘tambal sulam’ ini, toh tak masalah. Kalau mendengar ejekan Anggun, aku
cuek saja. Aku tak pernah mau ambil peduli. Lama-lama dia pasti capek sendiri.
Meski begitu, Anggun tak pernah bisa memusuhi aku. Bahkan terkadang kami bisa
jadi teman akrab. Soalnya, dia sering merengek minta diajari pelajaran fisika
atau kimia padaku. Nilaiku di kedua pelajaran itu hampir selalu sempurna. Salah
dia juga, sudah jelas senang pelajaran ekonomi, eh malah masuk jurusan IPA.
Nah, sama siapa lagi dia minta diajari kalau tidak sama aku? Sepertinya Anggun
mengakui kalau otakku memang genius. Cukup belajar sebentar (sambil menikmati
musik), semua soal-soal sulit, dapat terpecahkan olehku. Makanya, beasiswa dari
sekolah pun dengan gampang jatuh ke pangkuanku. Hahaha …!
“Mamaaa …! Masak apa, Maaa ...?”
Aih, suara cempreng itu! Pasti Bang Faisal. Kayaknya
baru pulang kuliah. Lebih baik aku pergi. Aku ada janji dengan Pierre,
sahabatku. Pierre itu sahabat sekaligus tetanggaku. Kami berteman sejak kecil.
Dia cerdas, baik hati, dan … tampan. Ah, sudahlah. A … aku malu menceritakannya
sekarang …. A ... aku harus segera pergi. Jangan sampai dia terlalu lama
menunggu.
***
Aku suka warna putih. Warna putih
melambangkan kepolosan dan kesucian. Akhir-akhir ini, aku selalu memakai
pakaian warna putih. Dan, di pesta ulang tahun Anggun nanti, aku sudah
menyiapkan gaun putih yang sederhana, namun menawan. Hatiku sedikit
berbunga-bunga. Aku yakin, kakak kelas kami, Kak Aura, diundang juga oleh
Anggun. Mudah-mudahan Kak Aura mengajak sepupunya yang ganteng itu. Namanya
Dylan. Yah, gantengnya beda-beda tipislah dengan sahabat setiaku, Pierre.
Anggun memang selalu membuat sensasi. Tiap tahun dia
memilih tema pesta yang berbeda. Ulang tahunnya pernah dirayakan di restoran
eksklusif, vila asri, dan pantai. Semua seru! Tahun lalu, Anggun
merayakannya di sebuah ballroom hotel terkemuka di kota ini. Alamak, kue
ulang tahunnya …tinggi sekali! Ada juga pahatan es dengan inisial A berukuran
besar di beberapa pojok ruangan. Tamu yang hadir bukan hanya teman-teman kami,
tapi juga dari kalangan pejabat dan artis. Pasti biaya pesta itu sangat mahal.
Apalagi, Anggun mengundang grup musik Hijau Daun yang sedang naik daun.
Aku menikmati pesta itu. Bercanda bersama teman-teman, menikmati makanan enak, dan
menari dengan iringan musik yang asyik … wuih … rasanya aku tak mau pulang!
Dalam hati, meski Anggun kadang-kadang rada menyebalkan, aku dan teman-teman
sependapat kalau pesta ulang tahun Anggun lebih kami nanti daripada pesta
perpisahan sekolah. Hahaha …!
Dan, tahun ini, Anggun memilih tema pesta kebun.
Benar-benar nekat dia! Musim hujan begini malah mengadakan pesta kebun.
Ayah dan ibunya pasti sudah memperingatkan. Tapi, bukan Anggun namanya kalau
keinginannya tidak terpenuhi. Dengar-dengar, kedua orangtuanya sudah menyewa
pawang hujan segala. Ya, jangan sampai hujan merusak suasana pesta nanti.
Aku meraba wajahku yang pucat, juga bagian bawah
mataku. Duh, sulit sekali rasanya menghilangkan lingkaran hitam ini. Semakin
hari rasanya semakin kelam saja. Aku tidak melihatnya di cermin, tapi aku bisa
merasakannya. Hm, sebenarnya masalah kecil ini tidak perlu mengganggu
pikiranku. Toh, teman-temanku juga tak akan mempermasalahkannya.
***
Pesta dimulai pukul tujuh malam. Aku tak ingin
terlambat. Aku sudah berdandan sebaik mungkin. Pierre yang mengantarku. Abangku
Faisal, si super-usil itu, pasti jam karet lagi. Lebih baik aku berangkat
duluan bersama Pierre.
Pierre menolak masuk. Dia tidak begitu suka pesta.
Pierre mengantarku hanya sampai di pintu gerbang rumah Anggun yang
besar dan ramah. Pintu gerbang itu terbuka lebar, seolah mengajak masuk siapa
saja yang ada di hadapannya. Berbagai karangan bunga ucapan selamat ulang tahun
berjejer di sepanjang area pesta. Beberapa orang satpam sibuk mengatur parkir mobil-mobil
berharga selangit.
Aku melangkah menuju taman belakang rumah Anggun
yang luas. Tapak kakiku terasa seringan kapas. Gaun putihku melambai disapa
bayu. Wow, ini baru pesta kebun! pekik hatiku girang. Kami disambut
dengan dekorasi balon, bunga-bunga segar, dan ranting-ranting kering sebagai
hiasan. Indahnya obor-obor taman dan lampion aneka warna digantung di
beberapa sudut pesta. Lampu-lampu taman bersinar temaram, memberikan nuansa
romantis. Di dalam kolam renang, lampu taman juga menyala, sehingga menampilkan
bayang-bayang air.
Para musisi di panggung menyanyikan lagu-lagu easy
listening jazz. Kami terhanyut. Tamu-tamu tampaknya kompak mematuhi dress
code. Mereka memakai busana putih dengan motif dan bahan yang beragam. Aku
berjalan mengelilingi taman sambil tersenyum pada beberapa teman. Seperti
biasa, teman-temanku tidak akan bertanya kenapa aku datang sendirian karena
mereka sudah maklum kalau Pierre tidak pernah mau bergabung di pesta.
Sedangkan Bang Faisal, kalian tahu sendiri kan. Kalau menunggu dia, bisa-bisa
aku datang saat pesta sudah bubar.
Au, itu dia Dylan! Dia ganteng sekali dengan kemeja
abu-abu tua dibalut tuksedo putih. Aku mendekatinya. Ck ck ck, cowok seganteng
ini ternyata hobi makan juga. Mulutnya sibuk mengunyah mashed potato,
sedangkan di tangan kanannya tergenggam sepiring fruit salad.
Di tangan kirinya, sudah menanti sepotong chocolate cake. Euuuw …
perutku mendadak kenyang melihatnya!
“Oh my God, Dylan! Kamu jangan malu-maluin
Kakak dong! Ganteng-ganteng, kok, rakus!” omel Kak Aura.
Dylan tersedak, wajahnya memerah seketika. Aku
tertawa geli. Wah, wah, wah, sepertinya dia harus kucoret dalam daftar ‘cowok
favorit’ di agendaku!
Aku melambaikan tangan pada Lili, Friska, dan
Paul di kejauhan. Mereka duduk di kursi bersarung putih dengan ikatan pita di
belakangnya. Kursi-kursi itu mengelilingi meja bundar. Di tengah keramaian aku
menyapa mereka, setengah berteriak sebenarnya. Namun, suaraku seperti lenyap
ditelan angin.
Aha! Dan itu dia si ratu pesta! Anggun mengenakan
gaun selutut berwarna putih gading, dengan bahu terbuka. Gaun berbahan halus,
mungkin sejenis sifon, aku tidak begitu yakin. Kakinya yang jenjang, sangat
jelas terlihat. Penampilannya malam itu begitu memukau. Anggun cantik laksana
boneka Barbie! Tiara mungil –sungguh-sungguh berkilau- bertahta di
rambutnya. Tamu-tamu mengucapkan selamat, memberi pelukan hangat dan akrab.
Lagu Setahun Bertambah Usiamu mengalun syahdu. Sayang, Anggun
menyerahkan potongan kue ulang tahun pertama kepada orangtuanya. Aku jamin,
malam itu para cowok ramai-ramai patah hati. Malang nian, mereka cuma bisa
menatap Anggun dengan mata tak berkedip dan mulut menganga …hahaha!
“Betul-betul pesta yang glamor!” Parlin
terkagum-kagum. “Tapi, coba kalian usulkan pada Anggun, bagaimana kalau tahun depan
pesta ulang tahunnya dirayakan bersama anak-anak tak mampu?” sambungnya. Parlin
memang temanku yang berhati mulia. Hatinya gampang tersentuh, apalagi bila
melihat orang yang kesusahan.
Meta mengangguk-angguk. “Bener banget yang lo
bilang. Keluarga Anggun, kan, punya yayasan sosial. Masa mereka
enggak pernah mengajak anaknya untuk ikut terlibat? Pesta hura-hura kayak gini
memang keren. Tapi, ngerayainnya bersama anak-anak nggak mampu, pasti beda
rasanya,” komentarnya bijak. Aku setuju dengan pendapat kedua temanku itu.
“Ya amplop … lusa, kan, kita ujian fisika!”
Tiba-tiba Rudi, si kemayu, nyeletuk. “Bisa-bisanya, ya, malam ini kita
seneng-seneng! Ntar lusa baru pada nyahok melototin soal-soal dari Pak
Silalahi!” ujar Rudi. Syal putih di lehernya dikibas-kibaskan.
Kami semua tertawa. Rudi, teman kami yang satu ini
memang selalu membuat suasana ceria. Di kelas, tubuhnya paling bongsor, tapi
gayanya lemah gemulai. Ingin sekali aku mencubit gemas pipinya.
“Kalau ngomongin fisika, aku jadi ingat Tita
…,” ucap Anggun yang tahu-tahu sudah ada di belakang kami. Dia
memandang Rudi dengan tatapan sendu. “Tita yang selalu mengajari aku fisika .…”
Semua langsung terdiam. Wajah mereka mendadak
layu. Hatiku jadi tak enak.
“Ya, kecelakaan sepeda motor yang tragis. Enam bulan
berlalu, tapi bayangan Tita masih lekat dalam ingatanku,” gumam Parlin sedih.
“Semua sudah takdir. Sepeda motor yang dikendarai
Pierre dan Tita ditabrak truk. Mereka tidak sempat menghindar. Kita kehilangan
dua sahabat sekaligus ….” Meta meneteskan air mata.
Rudi memencet hidungnya yang berair dengan tisu,
lalu hidungnya mengeluarkan suara ‘peeet’ yang panjang. “Menurutku, Pierre dan
Tita adalah soulmate. Pierre sudah lama naksir Tita,
meskipun Tita belum juga ngasih jawaban ‘iya’. Mereka itu pasangan yang serasi
…,” sambung Rudi dengan suara tercekat.
“Oya, Bang Faisal mana, ya? Aku mengundangnya, tapi
kok belum muncul?” desah Anggun, hampir tak terdengar.
Tuhan, aku tak sanggup menyaksikan pemandangan ini.
Kristal di mataku mengapung. Aku masih rindu teman-temanku, tapi aku tak ingin
melihat wajah mereka terluka. Sebaiknya aku segera meninggalkan pesta ulang
tahun Anggun. Kakiku tak menjejak tanah sehingga tubuhku bisa melayang cepat.
Angin malam membasuh dingin wajahku. Di halaman depan rumah Anggun, aku
berpapasan dengan Bang Faisal yang berjalan tergesa. Ah, abangku ini memang
selalu ngaret. Pesta sudah berlangsung dua jam, dia baru tiba. Bang,
sekarang abang yang menempati kamarku. Rawat kamarku baik-baik ya …, batinku
pilu.
Beberapa malaikat kecil bersayap telah menantiku di
pintu gerbang. Di tengah-tengah mereka, ada Pierre, dengan tubuh menguar
cahaya. Dia menatapku dengan senyum teduhnya, meski wajahnya seputih
kertas. Aku menyongsong Pierre. Bersama kami melangkah menuju tempat
peristirahatan terakhir kami .…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar