Jumat, 23 Oktober 2015

Ditengah Pesta Dansa



Di Tengah Pesta Dansa


Aku menatap  kartu undangan pesta ulang tahun nan manis di atas meja di kamarku. Pesta ulang tahun Anggun. Warnanya putih metalik, dihiasi pita emas, dan taburan glitter warna-warni. Harumnya … hmmm, seperti harum permen karet kesukaanku. Kartu undangan yang mewah. Sepintas kulihat kalimat di bagian bawah kartu.
Garden Party.
Dress Code:
RomanticWhite

Wow, kujamin, pesta ulang tahun ke-17 Anggun kali ini tak kalah megah dan meriah dibandingkan pesta ulang tahunnya yang  sebelumnya.
Anggun, temanku sekolahku, seorang gadis berkulit putih mulus bak pualam dan berwajah  cantik seperti manekin yang kerap dipajang  butik-butik  pakaian mahal dan bermerek. Wajah dan postur tinggi semampainya mewarisi gen ibunya yang keturunan Jerman. Sementara, tutur katanya yang lembut berasal dari didikan ayahnya yang asli Yogya. Konon katanya, ayah Anggun masih ada hubungan saudara dengan sultan  keraton Yogya. Jadi, Anggun  memiliki darah biru alias keturunan bangsawan. Ck ck ck!
Anggun putri  tunggal  dari lingkungan keluarga berada. Ayahnya pemilik sebuah perusahaan raksasa yang bergerak di bagian penyediaan komputer dan alat-alat perkantoran. Ibunya aktif dalam pengelolaan yayasan sosial yang mereka miliki. 
Kadang-kadang aku iri dengan temanku itu. Tak terhitung jumlah cowok yang mengejar-ngejar dirinya. Dari mulai Sahat, ketua OSIS yang ganteng; Bram, redaktur buletin sekolah yang pintar; Aldi, sang pemain piano klasik yang andal; sampai Vino, pemegang medali perak olimpiade matematika yang pernah diadakan di Bulgaria. Kurang apa mereka coba? Tapi, tak ada satu pun cinta mereka yang diterima Anggun. Cowok-cowok itu harus mundur teratur karena ditolak. Anggun selalu berkata kalau dia belum ingin pacaran karena ingin menamatkan sekolahnya dulu, lalu melanjutkan kuliah jurusan Ekonomi Akuntansi di sebuah universitas ternama di Jakarta, terus mengambil gelar Master of Finance di Australia. Mungkin alasannya klise bagi orang-orang, tapi tidak bagi Anggun. Dia benar-benar serius mengejar cita-cita. Belajar keras, rajin ikut les privat ini itu. Di kelas, Anggun selalu menduduki peringkat kedua (hohoho, kalau mau tahu, yang langganan peringkat pertama adalah aku!). Di mataku, Anggun adalah cewek yang ambisius. Dengar-dengar, ayahnya akan menyerahkan perusahaan itu kepadanya suatu saat kelak.
Anggun memang cantik, pintar, kaya raya, dan bertutur  lembut. Namun menurutku ya, nilai kepribadiannya agak  di bawah rata-rata. Habis, dia sering merendahkan orang lain, termasuk aku. Tak jarang aku dijadikan bahan olok-oloknya. Dia mengejek sepatuku yang butut, jam tanganku yang kuno, tasku yang belel, atau seragam sekolahku yang ditambal.
“Wah, wah … Teman-Teman, lihat, lihat, bajunya Tita cuakep beneeer ... tambal sulamnya itu lho, ndak kuaaat …!” demikian sindir  Anggun sambil tertawa. Teman-teman satu gengnya ikut cekikikan.  Masalah seragam, sebenarnya aku ingin membeli yang baru. Tapi kupikir-pikir, tahun depan aku tamat.  Tinggal sebentar lagi, kupakai saja yang ‘tambal sulam’ ini, toh tak masalah. Kalau mendengar ejekan Anggun, aku cuek saja. Aku tak pernah mau ambil peduli. Lama-lama dia pasti capek sendiri. Meski begitu, Anggun tak pernah bisa memusuhi aku. Bahkan terkadang kami bisa jadi teman akrab. Soalnya, dia sering merengek minta diajari pelajaran fisika atau kimia padaku. Nilaiku di kedua pelajaran itu hampir selalu sempurna. Salah dia juga, sudah jelas senang pelajaran ekonomi, eh malah masuk jurusan IPA. Nah, sama siapa lagi dia minta diajari kalau tidak sama aku? Sepertinya Anggun mengakui kalau otakku memang genius. Cukup belajar sebentar (sambil menikmati musik), semua soal-soal sulit, dapat terpecahkan olehku. Makanya, beasiswa dari sekolah pun dengan gampang jatuh ke pangkuanku. Hahaha …!
“Mamaaa …! Masak apa, Maaa ...?”
Aih, suara cempreng itu! Pasti Bang Faisal. Kayaknya  baru pulang kuliah. Lebih baik aku pergi. Aku ada janji dengan Pierre, sahabatku. Pierre itu sahabat sekaligus tetanggaku. Kami berteman sejak kecil. Dia cerdas, baik hati, dan … tampan. Ah, sudahlah.  A … aku malu menceritakannya sekarang …. A ... aku harus segera pergi. Jangan sampai dia terlalu lama menunggu.
***
Aku suka warna putih. Warna putih melambangkan kepolosan dan kesucian. Akhir-akhir ini, aku selalu memakai pakaian warna putih. Dan, di pesta ulang tahun Anggun nanti, aku sudah menyiapkan gaun putih yang sederhana, namun menawan. Hatiku sedikit berbunga-bunga. Aku yakin, kakak kelas kami, Kak Aura, diundang juga oleh Anggun. Mudah-mudahan Kak Aura mengajak sepupunya yang ganteng itu. Namanya Dylan. Yah, gantengnya beda-beda  tipislah dengan sahabat setiaku, Pierre.

Anggun memang selalu membuat sensasi. Tiap tahun dia memilih tema pesta yang berbeda. Ulang tahunnya pernah dirayakan di restoran eksklusif, vila asri, dan pantai.  Semua seru! Tahun lalu, Anggun merayakannya di sebuah ballroom hotel terkemuka di kota ini. Alamak, kue ulang tahunnya …tinggi sekali! Ada juga pahatan es dengan inisial A berukuran besar di beberapa pojok ruangan. Tamu yang hadir bukan hanya teman-teman kami, tapi juga dari kalangan pejabat dan artis. Pasti biaya pesta itu sangat mahal. Apalagi, Anggun mengundang grup musik Hijau Daun  yang sedang naik daun. Aku menikmati pesta itu. Bercanda bersama teman-teman, menikmati makanan enak, dan menari dengan iringan musik yang asyik … wuih … rasanya aku tak mau pulang! Dalam hati, meski Anggun kadang-kadang rada menyebalkan, aku dan teman-teman sependapat kalau pesta ulang tahun Anggun lebih kami nanti daripada pesta perpisahan sekolah. Hahaha …!
Dan, tahun ini, Anggun memilih tema pesta kebun.  Benar-benar nekat dia! Musim hujan begini malah mengadakan pesta kebun. Ayah dan ibunya pasti sudah memperingatkan. Tapi, bukan Anggun namanya kalau keinginannya tidak terpenuhi. Dengar-dengar, kedua orangtuanya sudah menyewa pawang hujan segala. Ya, jangan sampai hujan merusak suasana pesta nanti.
Aku meraba wajahku yang pucat, juga bagian bawah mataku. Duh, sulit sekali rasanya menghilangkan lingkaran hitam ini. Semakin hari rasanya semakin kelam saja. Aku tidak melihatnya di cermin, tapi aku bisa merasakannya. Hm, sebenarnya masalah kecil ini tidak perlu mengganggu pikiranku. Toh, teman-temanku juga tak akan mempermasalahkannya.
***
Pesta dimulai pukul tujuh malam. Aku tak ingin terlambat. Aku sudah berdandan sebaik mungkin. Pierre yang mengantarku. Abangku Faisal, si super-usil itu, pasti jam karet lagi. Lebih baik aku berangkat duluan bersama Pierre.
Pierre menolak masuk. Dia tidak begitu suka pesta. Pierre  mengantarku hanya sampai  di pintu gerbang rumah Anggun yang besar dan ramah. Pintu gerbang itu terbuka lebar, seolah mengajak masuk siapa saja yang ada di hadapannya. Berbagai karangan bunga ucapan selamat ulang tahun berjejer di sepanjang area pesta. Beberapa orang satpam sibuk mengatur parkir mobil-mobil berharga selangit.
Aku melangkah menuju taman belakang rumah Anggun yang luas. Tapak kakiku terasa seringan kapas. Gaun putihku melambai disapa bayu. Wow, ini baru pesta kebun! pekik hatiku girang. Kami disambut dengan dekorasi balon, bunga-bunga segar, dan ranting-ranting kering sebagai hiasan.  Indahnya obor-obor taman dan lampion aneka warna digantung di beberapa sudut pesta. Lampu-lampu taman bersinar temaram, memberikan nuansa romantis. Di dalam kolam renang, lampu taman juga menyala, sehingga menampilkan bayang-bayang air.
Para musisi di panggung menyanyikan lagu-lagu easy listening jazz. Kami terhanyut. Tamu-tamu tampaknya kompak mematuhi dress code. Mereka memakai busana putih dengan motif dan bahan yang beragam. Aku berjalan mengelilingi taman sambil tersenyum pada beberapa teman. Seperti biasa, teman-temanku tidak akan bertanya kenapa aku datang sendirian karena mereka sudah maklum kalau Pierre tidak pernah mau bergabung di  pesta. Sedangkan Bang Faisal, kalian tahu sendiri kan. Kalau menunggu dia, bisa-bisa aku datang saat pesta sudah bubar.
Au, itu dia Dylan! Dia ganteng sekali dengan kemeja abu-abu tua dibalut tuksedo putih. Aku mendekatinya. Ck ck ck, cowok seganteng ini ternyata hobi makan juga. Mulutnya sibuk mengunyah mashed potato, sedangkan di tangan kanannya tergenggam sepiring  fruit salad.  Di tangan kirinya, sudah menanti sepotong chocolate cake. Euuuw … perutku mendadak kenyang melihatnya!
Oh my God, Dylan! Kamu jangan malu-maluin Kakak dong! Ganteng-ganteng, kok, rakus!” omel Kak Aura.
Dylan tersedak, wajahnya memerah seketika. Aku tertawa geli. Wah, wah, wah, sepertinya dia harus kucoret dalam daftar ‘cowok favorit’ di agendaku!
Aku melambaikan tangan pada  Lili, Friska, dan Paul di kejauhan. Mereka duduk di kursi bersarung putih dengan ikatan pita di belakangnya. Kursi-kursi itu mengelilingi meja bundar. Di tengah keramaian aku menyapa mereka, setengah berteriak sebenarnya. Namun, suaraku seperti lenyap ditelan angin.
Aha! Dan itu dia si ratu pesta! Anggun mengenakan gaun selutut berwarna putih gading, dengan bahu terbuka. Gaun berbahan halus, mungkin sejenis sifon, aku tidak begitu yakin. Kakinya yang jenjang, sangat jelas terlihat. Penampilannya malam itu begitu memukau. Anggun cantik laksana boneka Barbie! Tiara mungil  –sungguh-sungguh berkilau- bertahta di rambutnya. Tamu-tamu mengucapkan selamat, memberi pelukan hangat dan akrab. Lagu Setahun Bertambah Usiamu mengalun syahdu. Sayang, Anggun menyerahkan potongan kue ulang tahun pertama kepada orangtuanya. Aku jamin, malam itu para cowok ramai-ramai patah hati. Malang nian, mereka cuma bisa menatap Anggun dengan mata tak berkedip dan mulut menganga …hahaha!
“Betul-betul pesta yang glamor!” Parlin terkagum-kagum. “Tapi, coba kalian usulkan pada Anggun, bagaimana kalau tahun depan pesta ulang tahunnya dirayakan bersama anak-anak tak mampu?” sambungnya. Parlin memang temanku yang berhati mulia. Hatinya gampang tersentuh, apalagi bila melihat orang yang kesusahan.
Meta mengangguk-angguk. “Bener banget  yang lo bilang. Keluarga   Anggun, kan, punya yayasan sosial. Masa mereka enggak pernah mengajak anaknya untuk ikut terlibat? Pesta hura-hura kayak gini memang keren. Tapi, ngerayainnya bersama anak-anak nggak mampu, pasti beda rasanya,” komentarnya bijak. Aku setuju dengan pendapat kedua temanku itu.
“Ya amplop … lusa, kan, kita ujian fisika!” Tiba-tiba Rudi, si kemayu, nyeletuk. “Bisa-bisanya, ya, malam ini kita seneng-seneng! Ntar lusa baru pada nyahok melototin soal-soal dari Pak Silalahi!” ujar Rudi. Syal putih di lehernya dikibas-kibaskan.
Kami semua tertawa. Rudi, teman kami yang satu ini memang selalu membuat suasana ceria. Di kelas, tubuhnya paling bongsor, tapi gayanya lemah gemulai. Ingin sekali aku mencubit gemas pipinya.
“Kalau ngomongin fisika, aku jadi ingat  Tita …,”  ucap Anggun yang tahu-tahu  sudah ada di belakang kami. Dia memandang Rudi dengan tatapan sendu. “Tita yang selalu mengajari aku fisika .…”
Semua langsung terdiam. Wajah mereka mendadak  layu. Hatiku jadi tak enak.
“Ya, kecelakaan sepeda motor yang tragis. Enam bulan berlalu, tapi bayangan Tita masih lekat dalam ingatanku,” gumam Parlin sedih.
“Semua sudah takdir. Sepeda motor yang dikendarai Pierre dan Tita ditabrak truk. Mereka tidak sempat menghindar. Kita kehilangan dua sahabat sekaligus ….” Meta meneteskan air mata.
Rudi memencet hidungnya yang berair dengan tisu, lalu hidungnya mengeluarkan suara ‘peeet’ yang panjang. “Menurutku, Pierre dan Tita  adalah soulmate. Pierre sudah lama naksir  Tita, meskipun Tita belum juga ngasih jawaban ‘iya’. Mereka itu pasangan yang serasi …,” sambung Rudi dengan suara tercekat.
“Oya, Bang Faisal mana, ya? Aku mengundangnya, tapi kok belum muncul?” desah Anggun, hampir tak terdengar.
Tuhan, aku tak sanggup menyaksikan pemandangan ini. Kristal di mataku mengapung. Aku masih rindu teman-temanku, tapi aku tak ingin melihat wajah mereka terluka. Sebaiknya aku segera meninggalkan pesta ulang tahun Anggun. Kakiku tak menjejak tanah sehingga tubuhku bisa melayang cepat. Angin malam membasuh dingin wajahku. Di halaman depan rumah Anggun, aku berpapasan dengan Bang Faisal yang berjalan tergesa. Ah, abangku ini memang selalu ngaret. Pesta sudah berlangsung dua jam, dia baru tiba. Bang, sekarang abang yang menempati kamarku. Rawat kamarku baik-baik ya …, batinku pilu.
Beberapa malaikat kecil bersayap telah menantiku di pintu gerbang. Di tengah-tengah mereka, ada Pierre, dengan tubuh menguar cahaya. Dia  menatapku dengan senyum teduhnya, meski wajahnya seputih kertas. Aku menyongsong Pierre.  Bersama kami melangkah menuju tempat peristirahatan terakhir kami .…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar